Matthew's Blogs

Entrepreneur atau wirausahawan tidak hanya hidup dalam lingkup bisnisnya sendiri saja. Sebagai manusia, entrepreneur juga hidup dan menjadi bagian dari komunitas masyarakat. Dengan kenyataan itu maka selayaknya seorang entrepreneur juga harus mengikuti nilai-nilai yang ada dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai itu disebut etika.

Etika didefinisikan sebagai sekumpulan aturan yang menjelaskan antara tindakan baik dan buruk. Aplikasi aturan etika yang umum dalam lingkungan bisnis (entrepreneur) disebut etika bisnis. Sumber etika bisnis terdiri dari dua macam, yaitu: norma yang jelas pada hukum dan norma pada nurani berupa itikad baik yang dimilki oleh hati manusia.

Dalam dunia bisnis, etika diterapkan dalam tiga jenis hubungan, yaitu: Hubungan antara warga perusahaan di dalam perusahaan dan antara warga perusahaan dengan pihak-pihak lain di luar perusahaan, hubungan antara perusahaan dengan para pekerja, serta hubungan antara perusahaan dengan stakeholders di luar perusahaan (pelanggan, pemasok,pemegang saham, pemberi kredit, pesaing, pemerintah, masyarakat).

Dengan semakin terbatasnya modal fisik (uang, bangunan, tanah), peran modal maya (intelektual, etika, semangat) menjadi semakin penting. Disamping itu, bisnis yang berjalan dengan performa etika yang baik dan tanggung jawab sosial yang tinggi tentu akan mendapatkan kepercayaan publik. Tindakan yang etis juga akan melindungi usaha kita dari perlakuan buruk anggota bisnis maupun pesaing. Oleh karena itu, etika bisnis menjadi hal yang penting terutama untuk mencegah kerugian dan kerusakan pada masyarakat.

Bukti nyata pentingnya etika dalam berbisnis tercermin dari hasil penelitian sebagai berikut:

  • Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.
  • Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
  • Riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997 menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

Standar etika adalah berupa nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan kepedulian sosial (pengabdian masyarakat). Umumnya, suatu hal dapat dikatakan etis atau tidak etis dengan parameter prinsip bolak-balik. Maksudnya adalah suatu tindakan dianggap tidak etis apabila jika orang lain melakukannya pada kita, maka kita tidak bisa menerimanya. Misalkan, kita tentu tidak akan terima jika kita dibohongi dalam bisnis sehingga menderita kerugian. Oleh karena itu, membohongi klien, atau menyembunyikan informasi yang penting (information asymmetry) adalah tindak yang tidak beretika dalam bisnis.

Hal di atas adalah contoh sederhana. Jika ternyata dihadapkan pada kasus yang lebih kompleks, tolak ukur etika dapat ditentukan dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

  • Apakah ini legal? Apakah ini melanggar hukum dan/atau aturan perusahaan?
  • Apakah ini seimbang? Apakah ini adil untuk jangka pendek maupun jangka panjang? Apakah ini menghasilkan hubungan yang saling menguntungkan?
  • Bagaimana perasaan kita tentang tindakan ini? Apakah ini membuat kita bangga? Apakah kita akan merasa senang jika hal ini muncul di media? Apakah kita akan merasa senang jika keluarga kita mengetahui tentang hal ini?

Sebagian berpendapat bahwa etika dan bisnis adalah dua hal yang bertentangan. Akan tetapi (telah disebutkan di atas) ternyata etika tidak memperkecil keuntungan dan justru berkontribusi positif pada keuntungan. Perilaku tidak etis dalam bisnis seringkali terlihat berhasil dalam jangka pendek tetapi akan hancur dalam jangka panjang. Sebagian besar orang akan menilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis. Pelanggan akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukan absentisme lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan percaya bahwa organisasi adil, akan senang mengikuti manajer, melakukan apapun yang dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Dengan demikian, etika juga merupakan komponen kunci manajemen yang efektif.

Untuk lebih mempertegas bahasan tentang etika, mari kita bandingkan kedua kasus berikut:

  • Enron merupakan perusahaan yang bergerak di bidang energi. Pada tahun 1990-an perusahaan ini mengalami kejayaannya. Sampai pada April 2001, majalah Fortune menjuluki Enron sebagai perusahaan paling inovatif di Amerika dan menduduki peringkat 7 besar perusahaan di Amerika. Pada Desember 2001, Enron diumumkan kolaps. Dua belas ribu karyawannya kehilangan pekerjaan. Nilai saham turun menjadi nol sehingga para pemegang saham kehilangan tujuh puluh trilyun dolar. Diketahui bahwa ternyata selama ini Enron melakukan penipuan akunting menggunakan celah ’special purpose entity’. Kejadian ini dijuluki “penipuan accounting terbesar di abad 20″.
  • Merck and Company adalah salah satu perusahaan obat ternama di Amerika. Saat terjadi wabah penyakit ‘River Blindness’ di daerah miskin Afrika dan Amerika Selatan, para peneliti di Merck and Company berhasil menemukan rumusan obat yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Tetapi perusahaan menghadapi situasi yang dilematis. Jika obat berhasil dikembangkan, tentu para penderita terlalu miskin untuk membelinya. Distribusi pun akan semakin mahal karena daerah wabah adalah tempat terpencil. Jika diketahui ada efek samping, publisitas buruk akan menurunkan citra perusahaan. Ditambah lagi jika obat dijual murah akan ada resiko penyelundupan. Akhirnya diputuskan bahwa keuntungan manusiawi yang dihasilkan terlalu penting dibanding besarnya biaya riset dan kecilnya imbal ekonomis. Obat kemudian berhasil dibuat dan diberikan secara gratis kepada para penderita dengan bantuan donasi dari WHO.

Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment.

Akhirnya, kesimpulan dari tulisan ini adalah sebuah ungkapan indah yang berbunyi: “being business is not about making money, it is a way to become who you are”. Bertindak etis atau tidak etis adalah pilihan bagi pelaku bisnis dan entrepreneur. Pilihan tersebut akan menentukan jati diri seorang entrepreneur. Apakah ia tidak lebih dari seorang yang tidak punya harga diri sehingga memilih berbisnis dengan cara kotor dan tidak etis? Ataukah ia adalah seorang besar yang tidak saja berbisnis secara etis, tapi juga bisa memberi makna dan nilai kesejahteraan kepada masyarakat sekitarnya.


Sumber : Klik di sini

Matthew's Blogs
Andaikan anda adalah seorang direktur teknik yang harus menerapkan teknologi baru. Anda tahu teknologi ini diperlukan dapat meningkatkan efisiensi industri, namun pada saat yang sama juga membuat banyak pegawai yang setia akan kehilangan pekerjaan, karena teknologi ini hanya memerlukan sedikit tenaga kerja saja. Bagaimana sikap anda? Dilema moral ini menunjukkan bahwa masalah etika juga meliputi kehidupan bisnis. Perusahaan dituntut untuk menetapkan patokan etika yang dapat diserap oleh masyarakat dalam pengambilan keputusannya. Sedangkan di pihak lain, banyak masyarakat menganggap etika itu hanya demi kepentingan perusahaan sendiri. Tantangan yang dihadapi serta kesadaran akan keterbatasan perusahaan dalam memperkirakan dan mengendalikan setiap keputusannya membuat perusahaan semakin sadar tentang tantangan etika yang harus dihadapi.

INOVASI, PERUBAHAN DAN LAPANGAN KERJA
Aspek bisnis yang paling menimbulkan pertanyaan menyangkut etika adalah inovasi dan perubahan. Sering terjadi tekanan untuk berubah membuat perusahaan atau masyarakat tidak mempunyai pilihan lain. Perusahaan harus menanam modal pada mesin dan pabrik baru yang biasanya menimbulkan masalah karena ketidakcocokan antara keahlian tenaga kerja yang dimiliki dan yang dibutuhkan oleh teknologi baru. Sedangkan perusahaan yang mencoba menolak perubahan teknologi biasanya menghadapi ancaman yang cukup besar sehingga memperkuat alasan perlunya melakukan perubahan. Keuntungan ekonomis dari inovasi dan perubahan biasanya digunakan sebagai pembenaran yang utama.
Sayangnya biaya sosial dari perubahan jarang dibayar oleh para promotor inovasi. Biaya tersebut berupa hilangnya pekerjaan, perubahan dalam masyarakat, perekonomian, dan lingkungan. Biaya-biaya ini tak mudah diukur. Tantangan sosial yang paling mendasar berasal dari masyarakat yang berdiri di luar proses. Dampak teknologi baru bukan mustahil tak dapat diprediksi. Kewaspadaan dan keterbukaan yang berkesinambungan merupakan tindakan yang penting dalam usaha perusahaan memenuhi kewajibannya.
Dampak inovasi dan perubahan terhadap tenaga kerja menimbulkan banyak masalah dibanding aspek pembangunan lainnya. Banyak pegawai menganggap inovasi mengecilkan kemampuan mereka. Hal ini mengubah kondisi pekerjaan serta sangat mengurangi kepuasan kerja. Perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk menyediakan lapangan kerja dan menciptakan tenaga kerja yang mampu bekerja dalam masa perubahan. Termasuk di dalamnya adalah
mendukung, melatih, dan mengadakan sumber daya untuk menjamin orang-orang yang belum bekerja memiliki keahlian dan dapat bersaing untuk menghadapi dan mempercepat perubahan.

PASAR DAN PEMASARAN
Monopoli adalah contoh yang paling ekstrem dari distorsi dalam pasar. Ada banyak alasan untuk melakukan konsentrasi industri, misal, meningkatkan kemampuan berkompetisi, memudahkan permodalan, hingga semboyan “yang terkuat adalah yang menang”. Penyalahgunaan kekuatan pasar melalui monopoli merupakan perhatian klasik terhadap bagaimana pasar dan pemasaran dilaksanakan. Kecenderungan untuk berkonsentrasi dan kekuatan nyata dari perusahaan raksasa harus dilihat secara hati-hati.
Banyak kritik diajukan pada aspek pemasaran, misal, penyalahgunaan kekuatan pembeli, promosi barang yang berbahaya, menyatakan nilai yang masih diragukan, atau penyalahgunaan spesifik lain, seperti iklan yang berdampak buruk bagi anak-anak. Diperlukan kelompok penekan untuk mengkritik tingkah laku perusahaan. Negara pun dapat menentukan persyaratan dan standar.

PENGURUS DAN GAJI DIREKSI
Unsur kepengurusan adalah bagian penting dari agenda kebijaksanaan perusahaan karena merupakan kewajiban yang nyata dalam bertanggungjawab terhadap barang dan dana orang lain. Perusahaan wajib melaksanakan pengurusan manajemen dengan tekun atas semua harta yang dipertanggungjawabkan pada pemberi tugas. Tugas terutama berada pada pundak direksi yang diharapkan bertindak loyal, dapat dipercaya, serta ahli dalam menjalankan tugasnya. Mereka tidak boleh menyalahgunakan posisinya. Mereka bertanggung jawab pada perusahaan juga undang-undang. Dalam hal ini auditing memegang peranan penting dalam mempertahankan stabilitas antara kebutuhan manajer untuk menjalankan tugasnya dan hak pemegang saham untuk mengetahui apa yang sedang dikerjakan para manajer. Perdebatan mengenai gaji direksi terjadi karena adanya ketidakadilan dalam proses penentuannya, ruang gerak yang dimungkinkan bagi direksi, kurang jelasnya hubungan antara kinerja organisasi dan penggajian, paket-paket tambahan tersembunyi dan kelemahan dalam pengawasan. Tampaknya gaji para direksi meningkat, sementara tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata cenderung menurun, dan nilai saham berfluktuasi. Hal ini menimbulkan kritik dan kesadaran untuk menyoroti kenaikan gaji para eksekutif senior. Informasi dan pembatasan eksternal merupakan unsur penting dalam upaya menyelesaikan penyalahgunaan yang terjadi.

TANTANGAN MULTINASIONAL
Sering terjadi, perusahaan internasional mengambil tindakan yang tak dapat diterima secara lokal. Banyak pertanyaan mendasar bagi perusahaan multinasional, seperti kemungkinan masuknya nilai moral budaya ke budaya masyarakat lain, atau kemungkinan perusahaan mengkesploitasi lubang-lubang perundang-undangan dalam sebuah negara demi kepentingan mereka. Dalam prakteknya, perusahaan internasional mempengaruhi perkembangan ekonomi sosial masyarakat suatu negara. Mereka dapat mensukseskan aspirasi negara atau justru malah membuat frustasi dengan menghambat tujuan nasional. Hal ini meningkatkan kewajiban bagi perorangan maupun industri untuk melaksanakan aturan kode etik secara internal maupun eksternal.


Sumber : Klik di sini

Matthew's Blogs
Dalam sistem perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin, sejalan dengan prinsip efisiensi. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap
menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika dalam berbisnis atau tidak.

Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis, meski perusahaan-perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam organisasi. Penerapan kaidah good corporate governace di perusahaan
swasta, BUMN, dan instansi pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, terutama dalam pelaporan kinerja keuangan perusahaan.

Prinsip keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan bagi perusahaan terdaftar di BEJ, misalnya seringkali dilanggar dan jelas merugikan para pemangku kepentingan (stakeholders),terutama pemegang saham dan masyarakat luas lainnya.Berbagai kasus insider trading dan banyaknya perusahaan publik yang di-suspend perdagangan sahamnya oleh otoritas bursa menunjukkan contoh praktik buruk dalam berbisnis. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam dengan alasan mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhitungkan daya dukung ekosistem lingkungan.

Bisa dibayangkan, dampak nyata akibat ketidakpedulian pelaku bisnis terhadap etika berbisnis adalah budaya korupsi yang semakin serius dan merusak tatanan sosial budaya masyarakat. Jika ini berlanjut, bagaimana mungkin investor asing tertarik menanamkan modalnya di negeri kita? Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa kesemua ini terjadi? Apakah para pengusaha tersebut tidak mendapatkan pembelajaran etika bisnis di bangku kuliah? Apa yang salah dengan pendidikan kita, karena seharusnya lembaga pendidikan berfungsi sebagai morale force dalam menegakkan nilai - nilai kebenaran dalam berbisnis?

Bagaimana sebenarnya etika bisnis diajarkan di sekolah—kalaupun ada—dan di perguruan tinggi? Etika bisnis merupakan mata kuliah yang diajarkan di lingkungan pendidikan tinggi yang menawarkan program pendidikan bisnis dan manajemen. Beberapa kendala sering dihadapi dalam menumbuhkembangkan etika bisnis di dunia pendidikan. Pertama, kekeliruan persepsi masyarakat bahwa etika bisnis hanya perlu diajarkan kepada mahasiswa program manajemen dan bisnis karena pendidikan model ini mencetak lulusan sebagai mencetak pengusaha. Persepsi demikian tentu tidak tepat. Lulusan dari jurusan/program studi nonbisnis yang mungkin diarahkan untuk menjadi pegawai tentu harus memahami etika bisnis. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha, termasuk dalam berinteraksi dengan stakeholders, termasuk tentunya karyawan.

Etika bisnis sebaik apa pun yang dicanangkan perusahaan dan dituangkan dalam pedoman perilaku, tidak akan berjalan tanpa kepatuhan karyawan dalam menaati norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Kedua, pada program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis diajarkan sebagai mata kuliah tersendiri dan tidak terintegrasi dengan pembelajaran pada mata kuliah lain. Perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai subjek didik harus mendapatkan pembelajaran secara komprehensif. Integrasi antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses pembelajaran harus diutamakan. Sehingga masuk akal apabila etika bisnis aspek afektif/ sikap dalam hal ini disisipkan di berbagai mata kuliah yang ditawarkan. Ketiga, metode pengajaran dan pembelajaran pada mata kuliah ini cenderung monoton.Pengajaran lebih banyak menggunakan metode ceramah langsung.

Kalaupun disertai penggunaan studi kasus, sayangnya tanpa disertai kejelasan pemecahan masalah dari kasus-kasus yang dibahas. Hal ini disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang cenderung abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam menilai etis atau tidaknya suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan sesuatu obat dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi pemakaian? Atau membahas moral hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas Enron di Amerika Serikat. Keempat, etika bisnis tidak terdapat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.

Nilainilai moral dan etika dalam berperilaku bisnis akan lebih efektif diajarkan pada saat usia emas (golden age) anak, yaitu usia 4–6 tahun. Karena itu, pengajarannya harus bersifat tematik. Pada mata pelajaran agama, misalnya, guru bisa mengajarkan etika bisnis dengan memberi contoh bagaimana Nabi Muhammad SAW berdagang dengan tidak mengambil keuntungan setinggi langit. Kelima, orangtua beranggapan bahwa sesuatu yang tidak mungkin mengajarkan anak di rumah tentang etika bisnis karena mereka bukan pengusaha. Pandangan sempit ini dilandasi pemahaman bahwa etika bisnis adalah urusan pengusaha.

Padahal, sebenarnya penegakan etika bisnis juga menjadi tanggung jawab kita sebagai konsumen. Orangtua dapat mengajarkan etika bisnis di lingkungan keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam menghargai hak atas kekayaan intelektual (HaKI), misalnya dengan tidak membelikan mereka VCD, game software, dan produk bajakan lain dengan alasan yang penting murah. Keenam, pendidik belum berperan sebagai model panutan dalam pengajaran etika bisnis. Misalnya masih sering kita mendapati fenomena orangtua siswa memberi hadiah kepada gurunya pada saat kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa terima kasih dan ikhlas.

Pendidik menerima hadiah tersebut dengan senang hati dan dengan sengaja menunjukkan hadiah pemberian orangtua siswa tersebut kepada teman sejawatnya dengan memuji-muji nilai atau besaran hadiah tersebut. Tidakkah kita sadari, kondisi seperti ini akan memberikan kesan mendalam pada anak kita? Mengurangi praktik pelanggaran etika dalam berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua. Sebagai pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi peningkatan peran dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan pemberdayaan kualitas hidup masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR).

Pada saat kita berperan sebagai konsumen, seyogianya memahami betul hak dan kewajiban dalam menghargai karya orang lain. Orangtua harus menjadi model panutan dengan memberikan contoh baik tentang perilaku berbisnis kepada anak sehingga kelak mereka akan menjadi pekerja atau pengusaha yang mengerti betul arti penting etika bisnis. Pemerintah sebagai regulator pasar turut berperan mengawasi praktik negatif para pelaku ekonomi. Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan etika bisnis termuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Peran aktif para pelaku ekonomi ini pada akhirnya akan menjadikan dunia bisnis di Tanah Air surga bagi investor asing.

(*) Drs. Dedi Purwana E.S., M.Bus. Direktur Eksekutif the Indonesian Council on Economic Education (ICEE)

Sumber : Klik di sini
Matthew's Blogs
Bukan rahasia jika perusahaan multinasional di Indonesia terlihat lebih besar, gagah, dan seolah tidak terjangkau. Itulah kesan yang sering muncul, menyusul lemahnya posisi tawar masyarakat dan pemerintah ketika berhadapan dengan perusahaan multinasional tersebut.

Oleh karena itu pula, penerapan good governance (tata kelola) dalam etika bisnis selalu menghadapi tantangan. Hal itu juga diungkapkan Ketua Dewan Penasihat IMA Chapter Jabar yang sekaligus Sekda Jabar, Lex Laksamana.

Menurut dia, good governance penting diterapkan, karena dengan tata kelola pemerintahan yang baik maka praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam bisnis dapat diminimalkan.

Namun, penerapan good governance itu memiliki banyak tantangan. "Saat ini, masih ada saja keengganan pemerintah untuk membuka ruang partisipasi publik dan rendahnya daya beli masyarakat yang membuat penerapan good governance ini sulit dijalankan. Terlebih lagi, kekurangtahuan aktor dalam penerapan etikanya,"ujarnya.

Direktur Pengawasan Internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chesna Fizetty Anwar menambahkan, apabila penegakan regulasi dalam bisnis dapat berjalan dengan baik dan konsisten, aktivitas bisnis yang dijalankan pelaku usaha tentunya dapat berjalan baik serta etika usaha akan tumbuh dan berkembang. "Inilah yang diterapkan dalam paradigma pelaku usaha sekarang," katanya seraya mengakui banyaknya skandal bisnis yang terjadi karena kurangnya penerapan good governance yang baik. Karena, good coorporatc governance ini menjadi salah satu sustainable competitive advantage," katanya.

Sebaliknya, banyak perusahaan-perusahaan besar yang bangkrut atau sekadar 'hidup segan mati pun tak mau karena penerapan good corporate governance dan etika bisnisnya yang tidak konsisten. Ini menunjukkan lemahnya komitmen dan kepemimpinan dan tidak dipakainya instrumen di dalam penerapan etika bisnis.

Sementara itu, Dewan Penasihat IMA Chapter Jabar, yang juga Sekda Kota Bandung, Edi Siswadi menuturkan, karakteristik good governance secara legitimasi dapat dilihat dari sisitem pemerintahannya, bagaimana jalannya pemerintahan. Lalu secara akuntabilitas dilihat dari eksistensi mekanisme keyakinan politik pemerintah terhadap aksi perbuatannya dalam menggunakan sumber publik dan performa perilakunya. Dengan kompetensi, pemerintah dalam membuat kebijakan harus berpatokan kepada pelayanan publik yang efisien dan kapabilitas manajemen publik yang tinggi.

"Selama ini problematika penerapan good governance di Kota Bandung sendiri adalah kurangnya pelayanan publik, kapabilitas kebijakan yang rendah, manajemen keuangan yang lemah, peraturan dan prosedur pelayanan yang sangat birokratis serta inefisiensi alokasi sumber sumber publik. Ini yang menghambat pelaksanaan good governance dan akibatnya bisa fatal, karena membuat pengentasan kemiskinan justru tidak berjalan, karena porgram dan projek yang seharusnya mengentaskan kemiskinan justru menjadi sarang KKN," ungkapnya.

Penyebab terjadinya tata kelola pemerintahan yang buruk itu dikarenakan sekarang sistem pemerintahan yang berjalan menganut sentralisasi yang buruk. Perlu adanya pergeseran sistem pemerintahan ke desentralisasi partisipatif yang memunculkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sehingga mampu menimbulkan pemerintahan yang baik, demokratis dan partisipasif, hingga nantinya ada pemerataan.

Akibat birokrasi pemerintahan yang terlalu terpatok pada nilai patrondient administrasi di negara berkembang seperti Indonesia sangat lambat dan semakin birokratik. Ini membuat semangat pegawai dan kinerja menjadi rendah.

Berdasarkan studi tata kelola pemerintahan yang dilakukan Gupta, Davoodi dan Alonso Terne, good governance yang buruk dan naiknya angka KKN sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan turunnya peringkat pendapatan dari 20% penduduk termiskin sebesar 7,8% per tahun. Dan di negara yang tingkat KKN-nya tinggi biasanya tingkat kesehatannya dan pendidikannya sangat rendah.

"Jika partisipasinya sudah melembaga, pemerintah lokal yang menganut asas tata kelola pemerintahan yang baik dapat menghasilkan pelayanan yang baik," tuturnya.

Jika melihat kondisi empiris tata kelola pemerintahan yang dijalankan sekarang, Edi mengatakan, otonomi daerah telah meningkatkan ketidakpastian usaha dan membengkaknya biaya usaha di tingkat lokal, karena di daerah yang memiliki tata kelola pemerintahan yang lebih baik, frekuensi pembayaran imbalannya berkurang danini akan mengurangi KKN. "Kalau berbicara good governance, kita lihat dari perizinan saja, lamanya perizinan yang terjadi dikarenakan saat inikhususnya Kota Bandung masih banyak yang belum berjalan satu atap. Seharusnya dengan satu atap kita bisa mengefisiensikan kinerja pelayanan," katanya.

Indeks persepsi korupsi 2006 menunjukkan Indonesia berada di urutan 130 dari 163 negara yang masuk ke dalam survei index persepsi ini, dengan CPI Score 2,4. Skor ini hanya naik 0,2 poin dari sebelumnya pada 2005. Jika melihat hasil dari survei tersebut, ini masih mencerminkan persepsi masyarakat yang mayoritas pebisnis suatu negara atau orang asing yang melakukan bisnis di negara tersebut terhadap tingkat korupsi suatu bangsa. Indeks ini bukanlah mencerminkan tingkat korupsi yang sebenarnya, namun tingkat korupsi yang terpersepsikan oleh para pelaku bisnis. Artinya tingkat korupsi di Indonesia dipandang para pebisnis luar masih tinggi, ini yang menghalangi masuknya investor.

Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.

Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.

KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan atau pemerintahan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perasahaan/pemer-intahan itu sendiri, yang nantinya akan menciptakan nilai-nilai.

Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan kepantasan), serta menghargai HAM.

Etika bisnis sendiri merupakan bagian integral dari nilai-nilai good governance yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kesetaraan dan kewajaran.

Nilai-nilai ini yang nantinya akan mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan undang-undang. Dan penerapannya tentu saja tidak bisa berdiri sendiri perlu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.

Dunia usaha berperan menerapkan good governance ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.


Sumber : Klik di sini