Penulis: M. Sholekhudin
Pepatah lama bilang, pembeli adalah raja. Khusus untuk urusan layanan kesehatan, pepatah ini mungkin tidak berlaku. Di Indonesia, konsumen kesehatan sering berada di pihak yang dirugikan. Sudah sakit, tidak berdaya, kadang masih diperdaya pula.
Dokter Marius Widjajarta, SE, ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) punya banyak cerita pengaduan layanan kesehatan. Selama sembilan tahun sejak berdiri (1998), YPKKI menerima 472 pengaduan. Sekitar separuhnya adalah kasus pelanggaran hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Sebagian lainnya malah dugaan malapraktik.
Ada pasien yang mengadu, setelah menjalani operasi, ternyata kateter tertinggal di dalam perutnya. Kelalaian ini baru diketahui 2,5 tahun setelah operasi. Pasien lain, seorang ibu, mengadukan kasus yang mirip. Bukan kateter yang tertinggal, tapi kasa steril. Pada mulanya ia terus-terusan merasa sakit di bagian perutnya setelah menjalani operasi. Adanya kasa di dalam perutnya diketahui ketika benda ini keluar saat buang air besar.
Kasus serupa juga pernah dilaporkan oleh keluarga pasien yang lain. Pasien sendiri tidak bisa melapor karena ia sudah meninggal. Kasusnya juga masih tak jauh dari urusan operasi. Sebelum meninggal, pasien menjalani operasi pembedahan perut. Setelah operasi, pasien malah sakit-sakitan. Enam bulan kemudian ia meninggal. Ketika jenazahnya selesai dibakar, keluarganya menemukan klem (alat penjepit untuk operasi) di antara abu mayat.
Itu baru sebagian kasus dari 472 pengaduan yang sempat diterima oleh YPKKI. Di luar itu tentu masih banyak lagi kasus lain meskipun itu tidak berarti semuanya merupakan dugaan malapraktik. Yang paling banyak adalah dugaan pelanggaran hak konsumen untuk memperoleh informasi. “Bukan sekadar informasi saja, tapi informasi yang benar, jelas, dan jujur,” tegas Marius sambil mengutip Undang-undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999.
Marius menegaskan bagian “benar, jelas, dan jujur” ini karena menurutnya konsumen kesehatan (pasien) biasanya masih sulit mendapatkannya. Ia memberi contoh, ketika pasien berada di rumah sakit, mereka sering mengikuti perintah dokter tanpa tahu sama sekali maksud dan tujuannya. Padahal ia harus membayar semuanya.
“Kita harus tanya diagnosisnya apa. Kalau disuruh periksa lab, USG, CT scan, MRI, atau apa pun, kita juga harus tanya untuk apa,” tandas Marius. Itu hak pasien dan merupakan kewajiban dokter untuk menjelaskannya secara benar, jelas, dan jujur. Jangan sampai ia membayar sesuatu yang tidak diperlukan.
Di antara pengaduan yang sempat diterima YPKKI, ada kasus pasien yang sebetulnya sakitnya infeksi saluran napas atas ringan. Tapi di rumah sakit, ia disuruh periksa macam-macam, sampai CT scan. Akibatnya, biaya yang harus ia bayar pun menjadi berlipat-lipat.
Memang dalam hal seperti ini pasien tidak mengerti perlu tidaknya sebuah pemeriksaan medis bagi dirinya. Tapi di rumah sakit tertentu yang nakal, aneka jenis pemeriksaan ini bisa saja dimanfaatkan sebagai tambang uang.
Ini semua baru masalah pasien di rumah sakit. Belum lagi ditambah masalah ketika pasien menebus obat di apotek, tentu daftar akan lebih panjang lagi.
Ketidaktahuan konsumen kadang dimanfaatkan penyedia layanan kesehatan yang kurang bertanggung jawab untuk mencari keuntungan. Ibu hamil normal bisa saja dibujuk untuk melahirkan lewat operasi cesar meskipun ia bisa melahirkan normal. Alasanya bisa macam-macam. Mungkin dengan memanfaatkan keinginan si ibu untuk mengepaskan hari lahir anaknya dengan ulang tahun pernikahan, hari besar, atau shio yang baik. Padahal, dalam tinjauan medis, operasi cesar mestinya hanya dilakukan jika ada penyulit.
Tindakan operasi yang tidak perlu juga bisa ditemukan pada operasi usus buntu pada anak-anak. Menurut literatur, angka kejadian usus buntu pada anak-anak hanya sekitar 2%. Tapi di Indonesia, angkanya lebih dari 30%. Menurut Marius, salah satu penyebab tingginya angka ini adalah tindakan operasi yang sebetulnya tidak diperlukan. Sedikit saja sakit di bagian perut, langsung operasi.
Celakanya, dalam hal ini konsumen sendiri sering membiarkan dirinya terpedaya dengan menganggap “doctors do no wrong”. Padahal, dokter juga manusia, yang bisa saja keliru. Baik disengaja maupun tidak. Jika dokter keliru, apalagi sengaja keliru, pasien boleh saja mengajukan keberatan.
Pendapat Ketiga atau Kelima
Di samping hak memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur, pasien juga punya hak untuk memilih dan didengar. Ini hak konsumen yang sering diabaikan di layanan kesehatan.
Ketika pasien mendapat resep dari dokter, ia biasanya menerimanya begitu saja tanpa punya andil dalam menentukan pilihan. Sehingga, ketika harus membayar resep yang sebetulnya kelewat mahal sekalipun, pasien hanya bisa pasrah. Tidak bisa berbuat apa-apa
Dalam banyak kasus, ini sebetulnya bisa dihindari jika konsumen mau menggunakan haknya untuk memilih dan didengar. Misalnya, dengan cara minta kepada dokter agar diberi resep obat generik. Ini hak pasien yang harus dipenuhi oleh dokter jika memang obat yang diresepkan tersedia dalam edisi generiknya. (Baca boks: Generik, Please!)
Sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan yang berisiko, misalnya operasi, sebaiknya pasien mencari pendapat kedua, ketiga, dan seterusnya. Diagnosis dokter mungkin saja keliru karena dokter juga manusia. Ilmu kedokteran pun bukan sebuah rumus matematika yang eksak. Medicine is the science of uncertainties and the art of probabilities. Ilmu kedokteran adalah sains tentang ketidakpastian dan seni kemungkinan-kemungkinan.
Untuk memperkecil kemungkinan salah diagnosis, Marius punya tips sederhana. Carilah pendapat kedua dan ketiga. Bukan hanya sekadar second opinion, tapi juga sampai third opinion. Bahkan, jika mungkin, sampai pendapat keempat dan kelima. Yang penting jumlahnya ganjil supaya ada pendapat yang dimenangkan. Biasanya dari beberapa pendapat itu, ada diagnosis yang saling menguatkan.
Saran Marius, ketiga dokter itu sebaiknya dipilih dengan mempertimbangkan senioritas dan pengalaman. Dokter pertama sebaiknya dokter yunior, ilmunya masih segar tapi pengalamannya belum banyak. Dokter kedua, menengah. Dokter ketiga, senior. Lulusnya sudah lama, jam terbangnya tinggi. Ini saran pribadi Marius, tentu saja kita boleh mengubah pertimbangannya.
Hubungannya Partnership
Idealnya, dokter dan pasien adalah mitra. Hubungan keduanya partnership, bukan paternalistik. Setara. Di depan hukum, dokter tidak lebih tinggi daripada pasien.
Setelah hak memilih dan didengar, konsumen kesehatan juga masih punya hak untuk mendapatkan advokasi. Terutama jika ia menduga adanya tindakan malapraktik atau kelalaian medik. (Lihat boks Hak Atas Ganti Rugi.)
Marius menegaskan, “Bukannya kita menyerang profesi dokter.” Ini semata-mata dimaksudkan sebagai pendidikan konsumen. Pasien harus tetap menjaga hubungan baik dengan dokter. Karena, selain punya hak, konsumen juga punya kewajiban. Jika pasien memandang dokter dengan penuh curiga, tentu hubungan kemitraan pun tidak lagi harmonis.
Bahwa ada oknum rumah sakit atau dokter yang kurang menghargai hak pasien, itu fakta. Tapi tentu saja tidak semua penyedia layanan kesehatan seperti itu. “Dokter yang baik itu masih banyak,” kata Marius menutup.
Boks-1:
Generik, Please!
Salah satu (bukan satu-satunya) penyebab mahalnya harga obat adalah patgulipat produsen farmasi dan dokter. Produsen farmasi memberi insentif kepada dokter yang meresepkan produknya. Sebagian besar produk-produk itu bukan obat paten yang sebenarnya, tapi sekadar me too products.
Produk-produk itu sejatinya tak lain adalah produk generik yang diberi nama dagang. Tapi dokter menyebutnya sebagai obat paten. Harganya jauh lebih mahal daripada obat generik. “Di Indonesia, obat paten itu jumlahnya hanya 7 - 8 %,” ujar Marius. Obat-obat paten ini misalnya untuk penyakit kanker, HIV, dan flu burung.
Karena mendapat insentif, dokter giat meresepkan merek tertentu meskipun tersedia edisi generik yang harganya jauh lebih murah dengan kemanjuran yang sama. Jika sudah begitu, siapa lagi yang dirugikan kalau bukan pasien. Sebagai konsumen yang sadar akan hak, kita bisa melawan patgulipat ini dengan selalu minta dokter untuk meresepkan obat generik.
Boks-2:
Punya Hak atas Ganti Rugi
Di depan hukum, kedudukan dokter dan rumah sakit setara dengan pasien. Jika dokter atau rumah sakit diduga melakukan malapraktik, pasien punya hak untuk mendapatkan advokasi. Jika benar, ia berhak mendapatkan ganti rugi.
Marius mengaku, batas antara malapraktik (kelalaian medik) dan yang bukan, sulit sekali ditentukan. Salah satu penyebabnya karena memang aturan hukumnya belum lengkap. Belum ada peraturan pemerintah tentang standar pelayanan rumah sakit maupun standar pelayanan profesi kesehatan. Yang ada hanya “standar hati nurani.” Ditambah lagi sifat ilmu kedokteran yang memang tidak pasti. Bisa saja, keluahn yang dialami pasien itu memang bukan kelalaian medik tapi memang risiko medik. Jika begitu, tentu dokter tidak bersalah.
Biasanya, urusan medis dan hukum seperti ini berada jauh di luar pengetahuan pasien. Bahkan pasien dari kalangan yang sangat terdidik pun belum tentu paham tentang pasal-pasal kitab hukum.
Meski begitu, ada cara sederhana yang bisa ditempuh pasien, yaitu dengan cara melaporkan pengaduan ke lembaga-lembaga perlindungan konsumen. Salah satunya, YPKKI. Dalam hal ini, YPKKI berfungsi sebagai penyedia layanan mediasi.
Dari 472 pengaduan yang masuk ke YPKKI, hanya beberapa saja yang sampai ke meja hijau. Sebagian besar selesai di tahap mediasi.
Layanan advokasi ini adalah hak semua orang. Prosedurnya tidaklah rumit. Pasien (konsumen kesehatan) cukup melaporkan kasusnya ke YPKKI. Gratis. Hanya perlu membawa materai Rp 6.000,-. Syaratnya, identitasnya jelas, laporan kronologis kasusnya juga harus jelas, disertai bukti dan dokumen-dokumen terkait. Setelah itu, YPPKI akan bertindak sebagai penengah yang mempertemukan pasien dengan pihak yang diadukan. Marius menjamin, selama proses mediasi, pasien juga tidak dipungut biaya.
Sumber :
Klik Di sini