Matthew's Blogs
Ada berbagai macam usaha yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa konsumen, namun sebelum mengambil keputusan untuk melakukan tindakan/aksi terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, terlebih dahulu harus jelas hasil (outcame) apa yang diharapkan konsumen dari tindakan tersebut.

MENGAJUKAN PENGADUAN KEPADA ASOSIASI INDUSTRI
Lembaga yang juga dapat menjadi alternatif konsumen menyampaikan pengaduan adalah Assosiasi Industri. Ada dua pendekatan:
1) fungsi penanganan pengaduan konsumen langsung ditangani pengurus assosiasi; atau
2) assosiasi yang membentuk lembaga khusus yang berfungsi menangani sengketa konsumen, seperti assosiasi industri asuransi membentuk Badan Mediasi Asuransi Indonesia.

MENULIS SURAT PEMBACA DI MEDIA CETAK
Dengan menulis pengalaman buruk di media cetak tentang suatu produk tingkat penyelesaian sangat rendah karena tergantung kepedulian dari pelaku usaha aka nama baiknya. Namun cara ini baik untuk pendidikan konsumen lain agar mengetahui info barang tersebut.

MEMBUAT PENGADUAN KE LPKSM
Membuat pengaduan ke LPKSM dapat dengan berbagai akses, seperti: surat, telepon, datang langsung, e-mail, SMS. Agar ditindak lanjuti, pengaduan konsumen harus dilakukan tertulis atau datang langsung ke LPKSM dengan mengisi form pengaduan konsumen. Mekanisme LPKSM dalam menyelesaikan sengketa konsumen adalah dengan mengupayakan tercapainya kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha melalui mediasi atau konsiliasi.

MEMBUAT PENGADUAN / LAPORAN TINDAK PIDANA KE KEPOLISIAN
Dalam beberapa kasus pelanggaran terhadap hak konsumen ada yang berdimensi pidana, oleh karena itu dapat diadukan ke Kepolisian. Laporan / pengaduan ke kepolisian dapat menjadi dasar bagi kepolisian untuk mengambil langkah hukum / polisional sehingga korban tidak berjatuhan lagi.

MENGIRIMKAN SOMASI KE PELAKU USAHA
Somasi selain berisi teguran, juga memberi kesempatan terakhir kepada tergugat untuk berbuat sesuatu dan atau untuk menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini lebih efektif, terlebih ketika menyangkut kepentingan publik, akan sangat bagus somasi dilakukan kolektif dan terbuka.

MENGAJUKAN GUGATAN SECARA PERORANGAN
Mengajukan gugatan perorangan untuk masalah sengketa konsumen sangat tidak efektif, karena biaya akan sangat mahal dan lamanya waktu penyelesaian

MENGAJUKAN GUGATAN PERDATA SECARA PERWAKILAN KELOMPOK (Class Action)
Gugatan Perwakilan kelompok merupakan cara yang praktis, dimana gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut. Selain dalam UU Perlindungan konsumen, gugatan class action juga diatur dalam UU Jasa Konstruksi. Gugatan ini baik dipakai untuk kasus-kasus pelanggaran hak konsumen secara massal.

MEMINTA LPKSM MENGAJUKAN GUGATAN LEGAL STANDING
Menurut pasal 46 Ayat (1) Huruf (c) UU PK menyebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dapat mengajukan gugatan legal standing dengan memenuhi syarat, yaitu:
  1. Berbentuk badan hukum atau yayasan; yang
  2. Dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen; dan
  3. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
Lembaga ini pendiriannya menjadi tanggungjawab pemerintah, didirikan ditiap pemerintahan Kota/Daerah tingkat II. Tujuan BPSK untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (Pasal 49 Ayat (1) UUPK) melalui cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi yang anggotanya terdiri dari unsur:
  1. Pemerintah
  2. Lembaga Konsumen
  3. Pelaku Usaha
(Pasal 49 Ayat (3) UUPK).

Tugas dan wewenang BPSK, meliputi:
  1. Penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi/arbitrase/konsiliasi;
  2. Konsultasi perlindungan konsumen;
  3. Pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
  4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UUPK;
  5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen;
  6. Meneliti dan memeriksa sengketa perlindungan konsumen;
  7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran;
  8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK;
  9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana

MENGAJUKAN PENGADUAN KEPADA OMBUDSNMAN NASIONAL
Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional dapat dilakukan jika seorang mendapat pelayanan buruk dari lembaga pemerintah. Namun KON memiliki kelemahan, yaitu kewenangannya terbatas meminta klarifikasi dan memberikan rekomendasi, tanpa memiliki kewenangan eksekusi. Masalahnya adalah ketika rekomendasi Komisi tidak ditindaklanjuti oleh lembaga yang diadukan masyarakat, komisi juga tidak dapat berbuat apa-apa.

MENGAJUKAN PENGADUAN KEPADA ORGANISASI PROFESI
Dalam kasus sengketa konsumen jasa profesional, apabila jenis pelanggaran masih dalam koridor kode etik, konsumen dapat mengadukan kepada Majelis Kehormatan Etik masing-masing profesi. Sebagai contoh, jika ada indikasi notaris melakukan malpraktik profesi yang potensial merugikan kepentingan masyarakat, sebagai pengguna jasa, masyarakat dapat mengutarakan keberatan/pengaduan Dewan Etik Ikatan Notaris Indonesia.

Sumber: Klik di sini
Label: 0 komentar | edit post
Matthew's Blogs
Penilaian bagaimana iklan dapat berkontribusi terhadap tujuan komunikasi oleh pihak manajemen merupakan keputusan penting peran iklan. Hal utama dalam beriklan adalah menentukan tujuan iklan dari mulai tujuan yang bersifat umum (exposure) sampai yang paling spesifik (profit contribution). Umumnya, semakin manajemen bisa menentukan tujuan yang spesifik semakin bisa memprediksi keputusan beli. Sebagai contoh, mengetahui bahwa iklan bisa menyebabkan sebuah peningkatan penjualan yang terukur mungkin lebih bermanfaat dibandingkan mengetahui berapa banyak orang mengetahui sebuah pesan iklan. Isu kuncinya adalah apakah exposure dan awareness berhubungan dengan perilaku beli. Penentuan tujuan iklan yang sangat specifik akan lebih susah untuk diukur dibandingkan dengan tujuan iklan yang lebih umum seperti exposure dan awareness.

Persaingan dunia usaha yang semakin ketat memunculkan ide kreatif dalam pembuatan iklan. Ini berarti tantangan baru bagi para agensi iklan dan marketer untuk menampilkan sebuah powerfull advertising. Tidaklah mudah untuk menciptakan sebuah iklan yang tampil beda sehingga mudah diingat oleh konsumen. Bayangkan, setiap hari konsumen selalu dibombardir dengan ratusan iklan dari berbagai merek. Di sisi lain, konsumen mempunyai ruang terbatas untuk menyimpan informasi tersebut. Disinilah tantangan terberat bagi pengiklan. Pengetahuan tentang pasar, perilaku konsumen, media, social awareness, dan kreativitas menjadi wajib untuk dikuasai. Dari mulai comparative advertising sampai iklan humor selalu bermunculan di kehidupan konsumen setiap harinya. Bahkan ada yang beranggapan, iklan merupakan salah satu hiburan.

Perkembangan iklan di Indonesia memang sangat pesat seiring semakin tingginya kesadaran akan pentingnya iklan. Namun, ada satu masalah yang selama ini masih kurang mendapatkan perhatian pihak yang berwenang yaitu tentang regulasi iklan dalam hal hak konsumen. Pertanyaan paling mendasar adalah apakah iklan di Indonesia telah memperhatikan hak konsumen ?. Jika beranjak dari hak-hak konsumen seperti konsumen berhak mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap, terhadap produk yang aman, terhadap produk yang memadai, dan terhadap produk yang tidak membahayakan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, penting kiranya memandang pengambilan keputusan dari perspektif konsumen seperti halnya perspektif manajer. Tanpa mempertimbangkan hak konsumen, bisnis dapat dengan mudah terjebak pada penyalahgunaan seperti iklan yang memperdaya (deceptive advertising), tidak memberikan informasi kandungan produk yang lengkap, mengembangkan produk yang tidak aman, atau membebani konsumen dengan harga yang tidak masuk akal. Beberapa isu tentang iklan di Indonesia sebagai berikut:

1. Deceptive advertising merupakan salah satu pelanggaran hak konsumen yang mungkin masih terjadi pada iklan di Indonesia. Deceptive advertising bisa dikategorikan dalam tiga tipe. Pertama, fraudulent advertising, iklan yang tidak dapat dipercaya (straightforward lie). Iklan seperti ini mungkin sudah jarang ditemui tapi juga tidak menutup kemungkinan iklan yang masuk tipe ini masih ada. Kedua, false advertising, klaim terhadap manfaat produk atau jasa yang hanya dapat dipenuhi berdasarkan ”syarat dan ketentuan berlaku” (under certain conditions) yang tidak di jelaskan secara gamblang di iklan. Misalnya, iklan salah satu provider telekomunikasi terkenal, mengklaim dirinya paling murah dengan menonjolkan sebuah pertanyaan “ada yang lebih murah dari Rp. 0 ?” tetapi hal ini tidak pernah dijelaskan secara gamblang bahwa tarif Rp 0 hanya berlaku berdasarkan syarat dan ketentuan. Bahkan dalam iklannya pun tidak dituliskan syarat dan ketentuan berlaku. Comparative advertising seperti ini berpotensi menimbulkan masalah dari pihak konsumen atau pesaing. Contoh kasus yang pernah terjadi antara pabrikan besar BMW dengan Volvo. Dalam sebuah pesan komersialnya Volvo 850 Turbo Sportwagon mengklaim bahwa Volvo 850 Turbo Sportwagon mempunyai akselerasi lebih cepat dibandingkan BMW 328i, pesan komersial kemudian direspon oleh BMW dengan mengajukan keberatan kepada pihak berwenang di negara bersangkutan. Akhirnya, kasus tersebut dimenangkan oleh BMW karena Volvo tidak bisa memberikan bukti yang memadai atas klaimnya.

Ketiga, misleading advertising, iklan ini melibatkan antara klaim dan kepercayaan, sebuah iklan menghubungkan dengan kepercayaan konsumen. Misalnya konsumen Indonesia percaya bahwa memiliki kulit putih merupakan bagian dari kecantikan. Kepercayaan konsumen ini dimanfaatkan produsen pemutih kulit merek terkenal dengan menggunakan produk mereka, kulit akan menjadi putih dalam waktu 7 hari. Hal serupa juga diungkapkan pada produk lini lainnya dengan pesan yang agresif, hanya pada beberapa iklan lainnya ditambahkan sebuah tulisan sangat kecil disudut kiri bawah (jika tidak dipelototi tidak akan kelihatan). Iklan sejenis juga mudah kita temui pada produk-produk untuk mengurangi berat badan, memperbesar payudara dan produk lainnya yang menunjang penampilan.

2. Iklan untuk Anak (Advertising to Children), anak usia muda (6-13 tahun) mungkin belum memahami bahwa sebuah motif iklan komersial adalah untuk mempengaruhi dan merangsang dan mungkin juga mereka tidak bisa membedakan antara program televisi dan iklan komersial. Sebagai hasilnya, mereka cenderung untuk meyakini bahwa pesan iklan komersial adalah sebuah kebenaran.

Ada argumentasi yang mengatakan bahwa iklan komersial yang ditujukan kepada anak usia muda cenderung akan membuat mereka menjadi lebih informed consumers pada usia yang lebih dini. Mereka mulai mempelajari apa yang dikatakan dalam pesan iklan komersial dan untuk mengambil tindakan berikutnya sebagai bagian proses informasi pemasaran. Mereka akan menjadi konsumen ”yang rentan” dikemudian hari. Ada beberapa kajian yang dilakukan di Amerika Serikat mendukung bahwa seringnya iklan komersial untuk anak bukan menjadi rekomendasi. Dalam kajian pendukung diketahui bahwa anak berusia 3-5 tahun mengalami kesulitan membedakan program televisi dan iklan komersial. Kajian tentang sikap perilaku anak dalam merespon iklan menemukan bahwa anak usia sebelum remaja cenderung untuk merespon dengan cepat sebuah iklan komersial dalam keputusan beli. Mereka tidak mempertimbangkan pengalaman mereka dalam menggunakan sebuah produk di masa lalu. Temuan ini didukung oleh kajian lain yang menemukan bahwa anak usia sebelum remaja cenderung tidak memperhatikan informasi yang lengkap tentang produk dan merek ketika menonton iklan komersial. Seluruh kajian ini mendukung dugaan bahwa anak-anak akan sangat terpengaruh dengan iklan komersial karena mereka belum mengembangkan kemampuan untuk membedakan dan memproses informasi.

Di Indonesia, masih ada iklan komersial yang kurang memperhatikan hal tersebut. Bahkan, ada iklan yang ditujukan untuk anak menggunakan selebriti sebagai endorsement, misalnya salah satu produk susu terkenal, jelly drink, obat masuk angin untuk anak, belum lagi yang menggunakan animasi dalam iklan, produk susu yang mencantumkan harga ”hanya” Rp. 1000,-, produk jus yang menampilakan setting perang, produk susu yang masih menampilkan klaim superioritas. Selain itu masalah durasi penayangan juga belum diperhatikan. Sebaiknya iklan yang ditujukan untuk anak kecil mulai dibatasi, misalnya penayangan hanya boleh dilakukan dengan total durasi 10 menit tiap jamnya pada akhir pekan dan 12 menit tiap jamnya pada hari biasa

Klaim Iklan terhadap Kesehatan (Advertising Health Claims), berubahnya gaya hidup telah mempengaruhi pola pikir konsumen untuk lebih memperhatikan kesehatan dan nutrisi. Saat ini, konsumen lebih sadar terdahap informasi nutrisi pada iklan maupun kemasan. Pada sebuah survei terkini, lebih dari separuh konsumen yang diinterview mengatakan bahwa klaim kesehatan adalah faktor yang penting untuk menentukan keputusan beli dan 44 % mengatakan bahwa mereka membaca secara cermat informasi nutrisi dan kesehatan pada kemasan. Saat ini, masih banyak klaim iklan terhadap kesehatan di Indonesia.

Produk minyak goreng selalu mengatakan non-kolesterol, yang sebetulnya bukan berarti non-kolesterol tidak bebas lemak. Ada juga sebuah produk permen untuk anak menghubungkan sebuah permen dengan segelas susu. Iklan seperti ini bisa dianggap misleading. Hal ini juga terjadi di produk-produk yang mengklaim memiliki kandungan serat tinggi, natural (kandungan alami), fat free dan lain-lain. Seharusnya, iklan produk kesehatan sebelum ditayangkan harus bisa membuktikan secara ilmiah klaim mereka terhadap produk (advertising substantiation) sehingga tidak terjadi misleading. Kasus seperti sebuah merek minuman isotonik yang didakwa mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan cukup menarik dikaji. Menarik karena kemungkinan lembaga berwenang tidak pernah melakukan pemantauan terhadap kegiatan iklan selama ini. Buktinya, iklan minuman isotonik tersebut bisa tayang. Walaupun pada akhirnya sang produsen bisa membuktikan bahwa penggunaan bahan pengawet tersebut sesuai standar lembaga kesehatan dunia. Kemudian sang produsen melakukan corrective advertising pada iklan merek tersebut.

Saat ini, banyak pengiklan telah melakukan koreksi terhadap klaim mereka seperti dengan bahasa ”diperkaya vitamin”, ”less cholesterol”, ”more calsium”, ”lower fat”, ”less salt”, ”fewer calories”. Namun, peran lembaga berwenang di Indonesia menjadi kunci dalam melindungi hak-hak konsumen agar setiap klaim kesehatan pada iklan telah dibuktikan secara ilmiah oleh produsen. Memang hal ini akan menambah mahalnya biaya iklan. Sehingga sering terjadi para pengiklan menggunakan puffery claim. Puffery (klaim atau pernyataan yang bersifat subyektif) bisa dikatakan legal karena bagian dari presentasi penjualan atau iklan yang memberikan sebuah pujian dengan pendapat subyektif, superlatif atau pendapat yang berlebihan (exaggeration), dan umum, memberikan pernyataan tanpa fakta tertentu. Penggunaan puffery sudah sangat umum. Contohnya, BMW menggunakan tagline ”The Ultimate Driving Machine”, Rokok Kretek Dji Sam Soe menggunakan ”kenikmatan Sempurna”, Soft Care dengan ”Super Maxi”, BNI Taplus dengan ”Hidup selalu bisa lebih mudah” atau dengan kata ”the best, ”finest”, ”greatest” dan lain-lain.

Pembatasan iklan melalui regulasi memang sudah sangat diperlukan. Komitmen terhadap regulasi merupakan bagian dari perlindungan konsumen yang menuntut para produsen untuk lebih menghormati hak-hak konsumen dan menjunjung etika bisnis. Perlu diingat bahwa pembatasan dalam iklan bukan mematikan kreativitas justru dengan pembatasan, kreativitas bisa lebih berkembang.

Sumber : Klik disini
Matthew's Blogs

Pakar hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Yesmil Anwar mengatakan, konsumen selama ini, selalu berada dalam posisi yang tidak berdaya. Mereka minim informasi dan tidak punya posisi tawar yang kuat.

Akibatnya, konsumen terseret arus yang dicipatakan oleh produsen. Apalagi penegakkan hukum perlindungan konsumen yang belum berjalan sepenuhnya. "Makanya, untuk melindungi diri sendiri, konsumen juga harus cerdas," ujarnya.

Kecerdasan konsumen bisa berbentuk ketelitian sebelum membeli dan tidak tergiur iklan. Kecerdasan konsumen hanya bisa tecapai jika mendapatkan informasi yang cukup. Pada kenyataannya, seringkali konsumen tidak mendapatkan informasi yang lengkap.

UU Perlindungan Konsumen (UU PK) yang diberlakukan pemerintah perlu disosialisasikan secara luas. Dengan demikian, konsumen memperoleh pengetahuan yang cukup mengenai hak dan kewajibannya.

Keseriusan pemerintah menegakkan perlindungan konsumen, memang masih perlu dipertanyakan. Sejauh ini, saluran pengaduan konsumen masih terbatas. "Ke mana masyarakat kalau mau mengadu? Kalau cuma mengadu lewat surat pembaca, tindak lanjutnya bagaimana? paling ribut sebentar tapi terus hilang begitu saja," tutur Yesmil.

Mendorong berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di daerah-daerah menjadi salah satu alternatifnya.

Menurutnya, penegakkan hukum terdiri atas lima unsur. Pertama, mengenai undang-undang itu sendiri. Apakah UU PK, sudah sesuai dengan kondisi saat ini. "Tentunya, perlindungan konsumen harus sejalan dengan peraturan lain. Misalnya KUHP karena di sana juga diatur soal penipuan, HAM, karena ini menyangkut hak masyarakat, serta undang-undang lainnya," tuturnya.

Kedua, terkait dengan aparat penegak hukumnya. Mereka harus mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang cukup mengenai perlindungan konsumen. Tujuannya, agar mereka dapat melakukan tindakan pencegahan, serta tindakan jika terjadi pelanggaran.

Aparat penegak hukum juga tidak terbatas pada polisi, jaksa maupun hakim. Tetapi juga Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), serta Badan Metrologi yang berwenang dalam pengukuran. Lembaga-lembaga tersebut, turut bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen.

Ketiga, penegakan hukum membutuhkan sarana dan prasarana yang cukup. Hal itu, berguna untuk deteksi awal terjadinya pelanggaran hak konsumen.

Keterbatasan ini, membuat konsumen tidak bisa memeriksa detail sebelum membeli. Kejadian yang sering dijumpai adalah pengurangan takaran dan pemalsuan barang. Masyarakat tidak bisa mendeteksi, apakah barang tersebut asli atau palsu.

"Harus ada laboratorium, uji coba dulu. Ini kelemahannya. Jaksa dan polisi juga kesulitan, pada waktu mau dibawa ke pengadilan, proses verbalnya sulit dilakukan karena alat buktinya kurang," tuturnya.

Keempat, masyarakat itu sendiri. Selama ini, masyarakat sering kali bersikap tidak peduli. Padahal, penegakkan hukum perlu peran aktif masyarakat.Masyarakat harus punya keinginan untuk melindungi diri sendiri.

Terakhir, budaya hukum. Budaya hukum yang rendah, tidak akan mendorong penegakkan hukum. "Masyarakat tidak boleh membiarkan dirinya membeli barang yang asal murah, tapi barangnya palsu. Penegak hukum juga harus berada di jalur hukum yang benar," ujar Yesmil.

Jika penegak hukum tidak menjalankan tugasnya dengan benar, masyarakat akan kembali pesimis dan enggan berpartisipasi.

**

Penegakan hukum yang tertatih-tatih itu, membuat berbagai kasus pelanggaran konsumen tidak jelas ujungnya. Bahkan, seringkali fungsi kontrol tidak berjalan. Sudah terlanjur memakan korban, baru ada tindakan. Sudah berapa banyak produk yang ditarik dari pasaran yang ternyata tidak memenuhi persyaratan.

Beberapa waktu silam, sebuah obat pembasmi nyamuk dinyatakan mengandung obat beracun. Sehingga harus ditarik peredaran. Pemberitaan begitu gencar, rupanya hanya pada permulaan saja. Selanjutnya, menghilang begitu saja. Lalu, beberapa saat kemudian, produk tersebut muncul kembali. Masih dengan merk yang sama. Hanya kali ini, dalam iklannya sudah disertai dengan slogan tidak beracun. "Berartin undang-undangnya impoten," ujar Yesmil.

Meski masih jauh dari harapan, penegakkan hukum harus terus diupayakan. Sanksi sudah ditetapkan, tinggal keberanian untuk menindak.

"Menurut hemat saya, karena masih dalam proses yang masih harus ditingkatkan kesadarannya jangan pakai yang total enforcement, partial enforcement saja dulu," tutur Yesmil. Maksudnya, setiap pelanggar UU ini dikenakan sanksi di bawah yang sudah ditetapkan.

Sementara itu, kata Betty D.S., dari jurusan teknologi pangan Unpad, kelemahan UU PK, terletak pada masalah sosialisasi yang masih sangat minim. "Saya melihat hanya kalangan tertentu saja yang tahu dan mengerti betul isi UU PK. Jika melihat di kalangan produsen kecil, pedagang dan bahkan konsumen umum, masih banyak yang tidak paham bagaimana dan apa sebenarnya isi UU PK," ujarnya.

Menurut Betty penerapan UU, terlebih sanksi yang tercantum di dalamnya, tidak akan bisa serta merta diterapkan dengan baik, seandainya sosialisasi tidak ditingkatkan.

"Cara yang sederhana untuk memperbaiki semua itu, adalah dengan meningkatakan sosialisasi UU tersebut. Saat sosialisasi, harus disertai dengan penyuluhan, tentang bagaimana tata cara pengolahan pangan yang baik, agar aman dikonsumsi untuk masyarakat. Beri juga peringatan, bahwa bila mereka tidak melakukan produksi sesuai ketentuan, mereka akan dikenai sanksi sesuai peraturan yang berlaku," kata Betty.

Setelah semua itu dilakukan, ujar Betty, pengawasan juga harus dilakukan secara berkesinambungan. "Jangan hanya pas booming ditemukan kasus dan sudah ada korban, baru ada pemeriksaan besar-besaran. Setelah mereda, tidak terdengar lagi adanya pengawasan," katanya.

Seharusnya pengawasan dilakukan supaya kasus tidak terjadi dan dilakukan rutin. Selain itu, harus disertai pula dengan sanksi yang yang bisa menimbulkan efek jera, agar produsen yang lalai, tidak mengulanginya perbuatannya kembali," ujar Betty. (Catur Ratna Wulandari/Handri Handriansyah/"PR")***

Sumber : Klik di sini

Label: 0 komentar | edit post
Matthew's Blogs

Meskipun secara eksplisit hak-hak konsumen belum diatur konstitusi, namun terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakomodir hak-hak konsumen, yaitu 1) pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperolah pelayanan kesehatan; 2) pasal 31 ayat (1): setiap warga negara berhak mendapat pendidikan ; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; 3) pasal 34 ayat (3): negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak;

UU Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detil dari hak asasi manusia, lebih khusus lagi hak-hak ekonomi yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob. Kehadiran UU Perlindungan Konsumen adalah wujud tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan sistem perlindungan konsumen, sehingga ada kepastian hukum baik bagi pelaku usaha agar tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab, maupun bagi konsumen, yang merupakan pengakuan harkat dan martabatnya.

Isi dari Undang Undang perlindungan Konsumen (UUPK) selain asas dan tujuan serta hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, dari segi materi hukum, secara umum UUPK mengatur sekaligus hukum acara/formil dan hukum materiil. Kemudian UUPK juga mengatur kelembagaan perlindungan konsumen tingkat pusat dalam bentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), maupun di daerah dalam bentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), juga tentang penyelesaian sengketa konsumen dan ketentuan pidananya.

PENGERTIAN KONSUMEN DALAM UUPK
Konsumen adalah setiap orang yang memakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

PENGERTIAN PELAKU USAHA DALAM UUPK
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Ada dua jenis pelaku usaha, yaitu perseorangan dan badan usaha. Dalam konteks advokasi konsumen, yang relevan untuk dijadikan ?sasaran? advokasi adalah pelaku usaha dalam bentuk badan usaha. Sedangkan pelaku usaha perseorangan, dalam praktik muncul dalam bentuk pengusaha kecil/lemah, justru masuk kelompok yang juga harus mendapat pembelaan/ advokasi.

PENGERTIAN BARANG DALAM UUPK
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

PENGERTIAN JASA DALAM UUPK
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan konsumen. Dalam praktik di lapangan, keberadaan jasa dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:

1) Jasa komersial: seperti bank, asuransi, telekomunikasi, transportasi, dll; 2) Jasa non-komersial: seperti jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan; 3) Jasa professional: seperti dokter, pengacara, notaris, akuntan, arsitek, dll;
4) Jasa layanan public: seperti pembuatan SIM, KTP, Pasport, sertifikat tanah, dll. Sedangkan dari aspek penyedia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) badan hukum privat, baik yang bersifat komersial (Perseroan Terbatas) maupun non-komersial (Yayasan); dan
2) badan hukum publik. UU Perlindungan Konsumen terbatas hanya mencakup jasa yang disediakan oleh badan hukum komersial.

LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT
LPKSM adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Ruang lingkup kegiatan LPKSM meliputi: penanganan pengaduan konsumen, pendidikan konsumen, penerbitan majalah/buku konsumen, penelitian dan pengujian, dan advokasi kebijakan.

Sumber : Klik di sini
Label: 0 komentar | edit post
Matthew's Blogs

Penulis: M. Sholekhudin

Pepatah lama bilang, pembeli adalah raja. Khusus untuk urusan layanan kesehatan, pepatah ini mungkin tidak berlaku. Di Indonesia, konsumen kesehatan sering berada di pihak yang dirugikan. Sudah sakit, tidak berdaya, kadang masih diperdaya pula.

Dokter Marius Widjajarta, SE, ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) punya banyak cerita pengaduan layanan kesehatan. Selama sembilan tahun sejak berdiri (1998), YPKKI menerima 472 pengaduan. Sekitar separuhnya adalah kasus pelanggaran hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Sebagian lainnya malah dugaan malapraktik.

Ada pasien yang mengadu, setelah menjalani operasi, ternyata kateter tertinggal di dalam perutnya. Kelalaian ini baru diketahui 2,5 tahun setelah operasi. Pasien lain, seorang ibu, mengadukan kasus yang mirip. Bukan kateter yang tertinggal, tapi kasa steril. Pada mulanya ia terus-terusan merasa sakit di bagian perutnya setelah menjalani operasi. Adanya kasa di dalam perutnya diketahui ketika benda ini keluar saat buang air besar.

Kasus serupa juga pernah dilaporkan oleh keluarga pasien yang lain. Pasien sendiri tidak bisa melapor karena ia sudah meninggal. Kasusnya juga masih tak jauh dari urusan operasi. Sebelum meninggal, pasien menjalani operasi pembedahan perut. Setelah operasi, pasien malah sakit-sakitan. Enam bulan kemudian ia meninggal. Ketika jenazahnya selesai dibakar, keluarganya menemukan klem (alat penjepit untuk operasi) di antara abu mayat.

Itu baru sebagian kasus dari 472 pengaduan yang sempat diterima oleh YPKKI. Di luar itu tentu masih banyak lagi kasus lain meskipun itu tidak berarti semuanya merupakan dugaan malapraktik. Yang paling banyak adalah dugaan pelanggaran hak konsumen untuk memperoleh informasi. “Bukan sekadar informasi saja, tapi informasi yang benar, jelas, dan jujur,” tegas Marius sambil mengutip Undang-undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999.

Marius menegaskan bagian “benar, jelas, dan jujur” ini karena menurutnya konsumen kesehatan (pasien) biasanya masih sulit mendapatkannya. Ia memberi contoh, ketika pasien berada di rumah sakit, mereka sering mengikuti perintah dokter tanpa tahu sama sekali maksud dan tujuannya. Padahal ia harus membayar semuanya.

“Kita harus tanya diagnosisnya apa. Kalau disuruh periksa lab, USG, CT scan, MRI, atau apa pun, kita juga harus tanya untuk apa,” tandas Marius. Itu hak pasien dan merupakan kewajiban dokter untuk menjelaskannya secara benar, jelas, dan jujur. Jangan sampai ia membayar sesuatu yang tidak diperlukan.

Di antara pengaduan yang sempat diterima YPKKI, ada kasus pasien yang sebetulnya sakitnya infeksi saluran napas atas ringan. Tapi di rumah sakit, ia disuruh periksa macam-macam, sampai CT scan. Akibatnya, biaya yang harus ia bayar pun menjadi berlipat-lipat.

Memang dalam hal seperti ini pasien tidak mengerti perlu tidaknya sebuah pemeriksaan medis bagi dirinya. Tapi di rumah sakit tertentu yang nakal, aneka jenis pemeriksaan ini bisa saja dimanfaatkan sebagai tambang uang.

Ini semua baru masalah pasien di rumah sakit. Belum lagi ditambah masalah ketika pasien menebus obat di apotek, tentu daftar akan lebih panjang lagi.

Ketidaktahuan konsumen kadang dimanfaatkan penyedia layanan kesehatan yang kurang bertanggung jawab untuk mencari keuntungan. Ibu hamil normal bisa saja dibujuk untuk melahirkan lewat operasi cesar meskipun ia bisa melahirkan normal. Alasanya bisa macam-macam. Mungkin dengan memanfaatkan keinginan si ibu untuk mengepaskan hari lahir anaknya dengan ulang tahun pernikahan, hari besar, atau shio yang baik. Padahal, dalam tinjauan medis, operasi cesar mestinya hanya dilakukan jika ada penyulit.

Tindakan operasi yang tidak perlu juga bisa ditemukan pada operasi usus buntu pada anak-anak. Menurut literatur, angka kejadian usus buntu pada anak-anak hanya sekitar 2%. Tapi di Indonesia, angkanya lebih dari 30%. Menurut Marius, salah satu penyebab tingginya angka ini adalah tindakan operasi yang sebetulnya tidak diperlukan. Sedikit saja sakit di bagian perut, langsung operasi.

Celakanya, dalam hal ini konsumen sendiri sering membiarkan dirinya terpedaya dengan menganggap “doctors do no wrong”. Padahal, dokter juga manusia, yang bisa saja keliru. Baik disengaja maupun tidak. Jika dokter keliru, apalagi sengaja keliru, pasien boleh saja mengajukan keberatan.

Pendapat Ketiga atau Kelima

Di samping hak memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur, pasien juga punya hak untuk memilih dan didengar. Ini hak konsumen yang sering diabaikan di layanan kesehatan.

Ketika pasien mendapat resep dari dokter, ia biasanya menerimanya begitu saja tanpa punya andil dalam menentukan pilihan. Sehingga, ketika harus membayar resep yang sebetulnya kelewat mahal sekalipun, pasien hanya bisa pasrah. Tidak bisa berbuat apa-apa

Dalam banyak kasus, ini sebetulnya bisa dihindari jika konsumen mau menggunakan haknya untuk memilih dan didengar. Misalnya, dengan cara minta kepada dokter agar diberi resep obat generik. Ini hak pasien yang harus dipenuhi oleh dokter jika memang obat yang diresepkan tersedia dalam edisi generiknya. (Baca boks: Generik, Please!)

Sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan yang berisiko, misalnya operasi, sebaiknya pasien mencari pendapat kedua, ketiga, dan seterusnya. Diagnosis dokter mungkin saja keliru karena dokter juga manusia. Ilmu kedokteran pun bukan sebuah rumus matematika yang eksak. Medicine is the science of uncertainties and the art of probabilities. Ilmu kedokteran adalah sains tentang ketidakpastian dan seni kemungkinan-kemungkinan.

Untuk memperkecil kemungkinan salah diagnosis, Marius punya tips sederhana. Carilah pendapat kedua dan ketiga. Bukan hanya sekadar second opinion, tapi juga sampai third opinion. Bahkan, jika mungkin, sampai pendapat keempat dan kelima. Yang penting jumlahnya ganjil supaya ada pendapat yang dimenangkan. Biasanya dari beberapa pendapat itu, ada diagnosis yang saling menguatkan.

Saran Marius, ketiga dokter itu sebaiknya dipilih dengan mempertimbangkan senioritas dan pengalaman. Dokter pertama sebaiknya dokter yunior, ilmunya masih segar tapi pengalamannya belum banyak. Dokter kedua, menengah. Dokter ketiga, senior. Lulusnya sudah lama, jam terbangnya tinggi. Ini saran pribadi Marius, tentu saja kita boleh mengubah pertimbangannya.

Hubungannya Partnership

Idealnya, dokter dan pasien adalah mitra. Hubungan keduanya partnership, bukan paternalistik. Setara. Di depan hukum, dokter tidak lebih tinggi daripada pasien.

Setelah hak memilih dan didengar, konsumen kesehatan juga masih punya hak untuk mendapatkan advokasi. Terutama jika ia menduga adanya tindakan malapraktik atau kelalaian medik. (Lihat boks Hak Atas Ganti Rugi.)

Marius menegaskan, “Bukannya kita menyerang profesi dokter.” Ini semata-mata dimaksudkan sebagai pendidikan konsumen. Pasien harus tetap menjaga hubungan baik dengan dokter. Karena, selain punya hak, konsumen juga punya kewajiban. Jika pasien memandang dokter dengan penuh curiga, tentu hubungan kemitraan pun tidak lagi harmonis.

Bahwa ada oknum rumah sakit atau dokter yang kurang menghargai hak pasien, itu fakta. Tapi tentu saja tidak semua penyedia layanan kesehatan seperti itu. “Dokter yang baik itu masih banyak,” kata Marius menutup.

Boks-1:

Generik, Please!

Salah satu (bukan satu-satunya) penyebab mahalnya harga obat adalah patgulipat produsen farmasi dan dokter. Produsen farmasi memberi insentif kepada dokter yang meresepkan produknya. Sebagian besar produk-produk itu bukan obat paten yang sebenarnya, tapi sekadar me too products.

Produk-produk itu sejatinya tak lain adalah produk generik yang diberi nama dagang. Tapi dokter menyebutnya sebagai obat paten. Harganya jauh lebih mahal daripada obat generik. “Di Indonesia, obat paten itu jumlahnya hanya 7 - 8 %,” ujar Marius. Obat-obat paten ini misalnya untuk penyakit kanker, HIV, dan flu burung.

Karena mendapat insentif, dokter giat meresepkan merek tertentu meskipun tersedia edisi generik yang harganya jauh lebih murah dengan kemanjuran yang sama. Jika sudah begitu, siapa lagi yang dirugikan kalau bukan pasien. Sebagai konsumen yang sadar akan hak, kita bisa melawan patgulipat ini dengan selalu minta dokter untuk meresepkan obat generik.

Boks-2:

Punya Hak atas Ganti Rugi

Di depan hukum, kedudukan dokter dan rumah sakit setara dengan pasien. Jika dokter atau rumah sakit diduga melakukan malapraktik, pasien punya hak untuk mendapatkan advokasi. Jika benar, ia berhak mendapatkan ganti rugi.

Marius mengaku, batas antara malapraktik (kelalaian medik) dan yang bukan, sulit sekali ditentukan. Salah satu penyebabnya karena memang aturan hukumnya belum lengkap. Belum ada peraturan pemerintah tentang standar pelayanan rumah sakit maupun standar pelayanan profesi kesehatan. Yang ada hanya “standar hati nurani.” Ditambah lagi sifat ilmu kedokteran yang memang tidak pasti. Bisa saja, keluahn yang dialami pasien itu memang bukan kelalaian medik tapi memang risiko medik. Jika begitu, tentu dokter tidak bersalah.

Biasanya, urusan medis dan hukum seperti ini berada jauh di luar pengetahuan pasien. Bahkan pasien dari kalangan yang sangat terdidik pun belum tentu paham tentang pasal-pasal kitab hukum.

Meski begitu, ada cara sederhana yang bisa ditempuh pasien, yaitu dengan cara melaporkan pengaduan ke lembaga-lembaga perlindungan konsumen. Salah satunya, YPKKI. Dalam hal ini, YPKKI berfungsi sebagai penyedia layanan mediasi.

Dari 472 pengaduan yang masuk ke YPKKI, hanya beberapa saja yang sampai ke meja hijau. Sebagian besar selesai di tahap mediasi.

Layanan advokasi ini adalah hak semua orang. Prosedurnya tidaklah rumit. Pasien (konsumen kesehatan) cukup melaporkan kasusnya ke YPKKI. Gratis. Hanya perlu membawa materai Rp 6.000,-. Syaratnya, identitasnya jelas, laporan kronologis kasusnya juga harus jelas, disertai bukti dan dokumen-dokumen terkait. Setelah itu, YPPKI akan bertindak sebagai penengah yang mempertemukan pasien dengan pihak yang diadukan. Marius menjamin, selama proses mediasi, pasien juga tidak dipungut biaya.

Sumber : Klik Di sini
Matthew's Blogs
Hak Kenyamanan, Keselamatan dan Keamanan
Bagi konsumen hak ini harus mencakup aspek kesehatan secara fisik, dan dari perspektif keyakinan/ajaran agama tertentu.

Hak Memilih
Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih barang dan jasa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, barang yang beredar di pasar haruslah terdiri dari beberapa merek untuk suatu barang, agar konsumen dapat memilih.

Hak Informasi
Bisa dipenuhi dengan cara antara lain, melalui diskripsi barang menyangkut harga dan kualitas atau kandungan barang dan tidak hanya terbatas informasi pada satu jenis produk, tetapi juga informasi beberapa merek untuk produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa membandingkan antara satu merk dengan merk lain untuk produk sejenis.

Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya
Ada dua instrumen dalam mengakomodir hak untuk didengar: Pertama, Pemerintah melalui aturan hukum tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka dengan konsumen; Kedua, melalui pembentukan organisasi konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Hak untuk didengar menuntut adanya organisasi konsumen yang mewakili konsumen.

Hak Untuk Mendapatkan Advokasi
Dengan hak ini, konsumen mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial. Hak ini dapat dipenuhi dengan cara:
  1. Konsultasi hukum, diberikan pada konsumen menengah ke bawah. Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh organisasi konsumen dan atau instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan konsumen
  2. Menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class action
  3. Adanya keragaman akses bagi konsumen individu berupa tersedianya lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap pemerintah kota / kabupaten.
Hak Untuk Mendapat Pendidikan
Definisi dasar hak ini adalah konsumen harus berpendidikan secukupnya, dapat dilakukan baik melalui kurikulum dalam pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pemenuhan hak untuk mendapat pendidikan juga menjadi kontribsi dan tanggung jawab pelaku usaha.

Hak Untuk Tidak Diperlakukan Diskriminatif
Tindakan diskriminatif secara sederhana adalah adanya disparitas, adanya perlakukan yang berbeda untuk pengguna jasa/produk, dimana kepada konsumen dibebankan biaya yang sama. Oleh karena itu adanya pelaku usaha yang menyediakan beberapa sub kategori pelayanan dengan tarif yang berbeda-beda, susuai dengan tarif yang dibayar konsumen tidak dapat dikatakan diskriminatif.

Hak Untuk Mendapat Ganti Rugi
Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan si pelaku usaha tersebut.
Bentuk ganti rugi dapat berupa:
  1. Pengembalian uang
  2. Penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya
  3. Perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan (pasal 19 Ayat (2) UUPK)
Hak Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-Undangan Lainnya
Selain hak-hak yang ada dalam UU PK, dalam UU lain juga diatur hak-hak konsumen, seperti UU Kesehatan. Oleh karena itu dimungkinkan adanya hak konsumen tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing.

Sumber : http://www.bantuanhukum.info/?page=detail&cat=B12&sub=B1202&t=2

Label: 1 komentar | edit post