Penilaian bagaimana iklan dapat berkontribusi terhadap tujuan komunikasi oleh pihak manajemen merupakan keputusan penting peran iklan. Hal utama dalam beriklan adalah menentukan tujuan iklan dari mulai tujuan yang bersifat umum (exposure) sampai yang paling spesifik (profit contribution). Umumnya, semakin manajemen bisa menentukan tujuan yang spesifik semakin bisa memprediksi keputusan beli. Sebagai contoh, mengetahui bahwa iklan bisa menyebabkan sebuah peningkatan penjualan yang terukur mungkin lebih bermanfaat dibandingkan mengetahui berapa banyak orang mengetahui sebuah pesan iklan. Isu kuncinya adalah apakah exposure dan awareness berhubungan dengan perilaku beli. Penentuan tujuan iklan yang sangat specifik akan lebih susah untuk diukur dibandingkan dengan tujuan iklan yang lebih umum seperti exposure dan awareness.
Persaingan dunia usaha yang semakin ketat memunculkan ide kreatif dalam pembuatan iklan. Ini berarti tantangan baru bagi para agensi iklan dan marketer untuk menampilkan sebuah powerfull advertising. Tidaklah mudah untuk menciptakan sebuah iklan yang tampil beda sehingga mudah diingat oleh konsumen. Bayangkan, setiap hari konsumen selalu dibombardir dengan ratusan iklan dari berbagai merek. Di sisi lain, konsumen mempunyai ruang terbatas untuk menyimpan informasi tersebut. Disinilah tantangan terberat bagi pengiklan. Pengetahuan tentang pasar, perilaku konsumen, media, social awareness, dan kreativitas menjadi wajib untuk dikuasai. Dari mulai comparative advertising sampai iklan humor selalu bermunculan di kehidupan konsumen setiap harinya. Bahkan ada yang beranggapan, iklan merupakan salah satu hiburan.
Perkembangan iklan di Indonesia memang sangat pesat seiring semakin tingginya kesadaran akan pentingnya iklan. Namun, ada satu masalah yang selama ini masih kurang mendapatkan perhatian pihak yang berwenang yaitu tentang regulasi iklan dalam hal hak konsumen. Pertanyaan paling mendasar adalah apakah iklan di Indonesia telah memperhatikan hak konsumen ?. Jika beranjak dari hak-hak konsumen seperti konsumen berhak mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap, terhadap produk yang aman, terhadap produk yang memadai, dan terhadap produk yang tidak membahayakan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, penting kiranya memandang pengambilan keputusan dari perspektif konsumen seperti halnya perspektif manajer. Tanpa mempertimbangkan hak konsumen, bisnis dapat dengan mudah terjebak pada penyalahgunaan seperti iklan yang memperdaya (deceptive advertising), tidak memberikan informasi kandungan produk yang lengkap, mengembangkan produk yang tidak aman, atau membebani konsumen dengan harga yang tidak masuk akal. Beberapa isu tentang iklan di Indonesia sebagai berikut:
1. Deceptive advertising merupakan salah satu pelanggaran hak konsumen yang mungkin masih terjadi pada iklan di Indonesia. Deceptive advertising bisa dikategorikan dalam tiga tipe. Pertama, fraudulent advertising, iklan yang tidak dapat dipercaya (straightforward lie). Iklan seperti ini mungkin sudah jarang ditemui tapi juga tidak menutup kemungkinan iklan yang masuk tipe ini masih ada. Kedua, false advertising, klaim terhadap manfaat produk atau jasa yang hanya dapat dipenuhi berdasarkan ”syarat dan ketentuan berlaku” (under certain conditions) yang tidak di jelaskan secara gamblang di iklan. Misalnya, iklan salah satu provider telekomunikasi terkenal, mengklaim dirinya paling murah dengan menonjolkan sebuah pertanyaan “ada yang lebih murah dari Rp. 0 ?” tetapi hal ini tidak pernah dijelaskan secara gamblang bahwa tarif Rp 0 hanya berlaku berdasarkan syarat dan ketentuan. Bahkan dalam iklannya pun tidak dituliskan syarat dan ketentuan berlaku. Comparative advertising seperti ini berpotensi menimbulkan masalah dari pihak konsumen atau pesaing. Contoh kasus yang pernah terjadi antara pabrikan besar BMW dengan Volvo. Dalam sebuah pesan komersialnya Volvo 850 Turbo Sportwagon mengklaim bahwa Volvo 850 Turbo Sportwagon mempunyai akselerasi lebih cepat dibandingkan BMW 328i, pesan komersial kemudian direspon oleh BMW dengan mengajukan keberatan kepada pihak berwenang di negara bersangkutan. Akhirnya, kasus tersebut dimenangkan oleh BMW karena Volvo tidak bisa memberikan bukti yang memadai atas klaimnya.
Ketiga, misleading advertising, iklan ini melibatkan antara klaim dan kepercayaan, sebuah iklan menghubungkan dengan kepercayaan konsumen. Misalnya konsumen Indonesia percaya bahwa memiliki kulit putih merupakan bagian dari kecantikan. Kepercayaan konsumen ini dimanfaatkan produsen pemutih kulit merek terkenal dengan menggunakan produk mereka, kulit akan menjadi putih dalam waktu 7 hari. Hal serupa juga diungkapkan pada produk lini lainnya dengan pesan yang agresif, hanya pada beberapa iklan lainnya ditambahkan sebuah tulisan sangat kecil disudut kiri bawah (jika tidak dipelototi tidak akan kelihatan). Iklan sejenis juga mudah kita temui pada produk-produk untuk mengurangi berat badan, memperbesar payudara dan produk lainnya yang menunjang penampilan.
2. Iklan untuk Anak (Advertising to Children), anak usia muda (6-13 tahun) mungkin belum memahami bahwa sebuah motif iklan komersial adalah untuk mempengaruhi dan merangsang dan mungkin juga mereka tidak bisa membedakan antara program televisi dan iklan komersial. Sebagai hasilnya, mereka cenderung untuk meyakini bahwa pesan iklan komersial adalah sebuah kebenaran.
Ada argumentasi yang mengatakan bahwa iklan komersial yang ditujukan kepada anak usia muda cenderung akan membuat mereka menjadi lebih informed consumers pada usia yang lebih dini. Mereka mulai mempelajari apa yang dikatakan dalam pesan iklan komersial dan untuk mengambil tindakan berikutnya sebagai bagian proses informasi pemasaran. Mereka akan menjadi konsumen ”yang rentan” dikemudian hari. Ada beberapa kajian yang dilakukan di Amerika Serikat mendukung bahwa seringnya iklan komersial untuk anak bukan menjadi rekomendasi. Dalam kajian pendukung diketahui bahwa anak berusia 3-5 tahun mengalami kesulitan membedakan program televisi dan iklan komersial. Kajian tentang sikap perilaku anak dalam merespon iklan menemukan bahwa anak usia sebelum remaja cenderung untuk merespon dengan cepat sebuah iklan komersial dalam keputusan beli. Mereka tidak mempertimbangkan pengalaman mereka dalam menggunakan sebuah produk di masa lalu. Temuan ini didukung oleh kajian lain yang menemukan bahwa anak usia sebelum remaja cenderung tidak memperhatikan informasi yang lengkap tentang produk dan merek ketika menonton iklan komersial. Seluruh kajian ini mendukung dugaan bahwa anak-anak akan sangat terpengaruh dengan iklan komersial karena mereka belum mengembangkan kemampuan untuk membedakan dan memproses informasi.
Di Indonesia, masih ada iklan komersial yang kurang memperhatikan hal tersebut. Bahkan, ada iklan yang ditujukan untuk anak menggunakan selebriti sebagai endorsement, misalnya salah satu produk susu terkenal, jelly drink, obat masuk angin untuk anak, belum lagi yang menggunakan animasi dalam iklan, produk susu yang mencantumkan harga ”hanya” Rp. 1000,-, produk jus yang menampilakan setting perang, produk susu yang masih menampilkan klaim superioritas. Selain itu masalah durasi penayangan juga belum diperhatikan. Sebaiknya iklan yang ditujukan untuk anak kecil mulai dibatasi, misalnya penayangan hanya boleh dilakukan dengan total durasi 10 menit tiap jamnya pada akhir pekan dan 12 menit tiap jamnya pada hari biasa
Klaim Iklan terhadap Kesehatan (Advertising Health Claims), berubahnya gaya hidup telah mempengaruhi pola pikir konsumen untuk lebih memperhatikan kesehatan dan nutrisi. Saat ini, konsumen lebih sadar terdahap informasi nutrisi pada iklan maupun kemasan. Pada sebuah survei terkini, lebih dari separuh konsumen yang diinterview mengatakan bahwa klaim kesehatan adalah faktor yang penting untuk menentukan keputusan beli dan 44 % mengatakan bahwa mereka membaca secara cermat informasi nutrisi dan kesehatan pada kemasan. Saat ini, masih banyak klaim iklan terhadap kesehatan di Indonesia.
Produk minyak goreng selalu mengatakan non-kolesterol, yang sebetulnya bukan berarti non-kolesterol tidak bebas lemak. Ada juga sebuah produk permen untuk anak menghubungkan sebuah permen dengan segelas susu. Iklan seperti ini bisa dianggap misleading. Hal ini juga terjadi di produk-produk yang mengklaim memiliki kandungan serat tinggi, natural (kandungan alami), fat free dan lain-lain. Seharusnya, iklan produk kesehatan sebelum ditayangkan harus bisa membuktikan secara ilmiah klaim mereka terhadap produk (advertising substantiation) sehingga tidak terjadi misleading. Kasus seperti sebuah merek minuman isotonik yang didakwa mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan cukup menarik dikaji. Menarik karena kemungkinan lembaga berwenang tidak pernah melakukan pemantauan terhadap kegiatan iklan selama ini. Buktinya, iklan minuman isotonik tersebut bisa tayang. Walaupun pada akhirnya sang produsen bisa membuktikan bahwa penggunaan bahan pengawet tersebut sesuai standar lembaga kesehatan dunia. Kemudian sang produsen melakukan corrective advertising pada iklan merek tersebut.
Saat ini, banyak pengiklan telah melakukan koreksi terhadap klaim mereka seperti dengan bahasa ”diperkaya vitamin”, ”less cholesterol”, ”more calsium”, ”lower fat”, ”less salt”, ”fewer calories”. Namun, peran lembaga berwenang di Indonesia menjadi kunci dalam melindungi hak-hak konsumen agar setiap klaim kesehatan pada iklan telah dibuktikan secara ilmiah oleh produsen. Memang hal ini akan menambah mahalnya biaya iklan. Sehingga sering terjadi para pengiklan menggunakan puffery claim. Puffery (klaim atau pernyataan yang bersifat subyektif) bisa dikatakan legal karena bagian dari presentasi penjualan atau iklan yang memberikan sebuah pujian dengan pendapat subyektif, superlatif atau pendapat yang berlebihan (exaggeration), dan umum, memberikan pernyataan tanpa fakta tertentu. Penggunaan puffery sudah sangat umum. Contohnya, BMW menggunakan tagline ”The Ultimate Driving Machine”, Rokok Kretek Dji Sam Soe menggunakan ”kenikmatan Sempurna”, Soft Care dengan ”Super Maxi”, BNI Taplus dengan ”Hidup selalu bisa lebih mudah” atau dengan kata ”the best, ”finest”, ”greatest” dan lain-lain.
Pembatasan iklan melalui regulasi memang sudah sangat diperlukan. Komitmen terhadap regulasi merupakan bagian dari perlindungan konsumen yang menuntut para produsen untuk lebih menghormati hak-hak konsumen dan menjunjung etika bisnis. Perlu diingat bahwa pembatasan dalam iklan bukan mematikan kreativitas justru dengan pembatasan, kreativitas bisa lebih berkembang.
Sumber : Klik disini
Persaingan dunia usaha yang semakin ketat memunculkan ide kreatif dalam pembuatan iklan. Ini berarti tantangan baru bagi para agensi iklan dan marketer untuk menampilkan sebuah powerfull advertising. Tidaklah mudah untuk menciptakan sebuah iklan yang tampil beda sehingga mudah diingat oleh konsumen. Bayangkan, setiap hari konsumen selalu dibombardir dengan ratusan iklan dari berbagai merek. Di sisi lain, konsumen mempunyai ruang terbatas untuk menyimpan informasi tersebut. Disinilah tantangan terberat bagi pengiklan. Pengetahuan tentang pasar, perilaku konsumen, media, social awareness, dan kreativitas menjadi wajib untuk dikuasai. Dari mulai comparative advertising sampai iklan humor selalu bermunculan di kehidupan konsumen setiap harinya. Bahkan ada yang beranggapan, iklan merupakan salah satu hiburan.
Perkembangan iklan di Indonesia memang sangat pesat seiring semakin tingginya kesadaran akan pentingnya iklan. Namun, ada satu masalah yang selama ini masih kurang mendapatkan perhatian pihak yang berwenang yaitu tentang regulasi iklan dalam hal hak konsumen. Pertanyaan paling mendasar adalah apakah iklan di Indonesia telah memperhatikan hak konsumen ?. Jika beranjak dari hak-hak konsumen seperti konsumen berhak mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap, terhadap produk yang aman, terhadap produk yang memadai, dan terhadap produk yang tidak membahayakan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, penting kiranya memandang pengambilan keputusan dari perspektif konsumen seperti halnya perspektif manajer. Tanpa mempertimbangkan hak konsumen, bisnis dapat dengan mudah terjebak pada penyalahgunaan seperti iklan yang memperdaya (deceptive advertising), tidak memberikan informasi kandungan produk yang lengkap, mengembangkan produk yang tidak aman, atau membebani konsumen dengan harga yang tidak masuk akal. Beberapa isu tentang iklan di Indonesia sebagai berikut:
1. Deceptive advertising merupakan salah satu pelanggaran hak konsumen yang mungkin masih terjadi pada iklan di Indonesia. Deceptive advertising bisa dikategorikan dalam tiga tipe. Pertama, fraudulent advertising, iklan yang tidak dapat dipercaya (straightforward lie). Iklan seperti ini mungkin sudah jarang ditemui tapi juga tidak menutup kemungkinan iklan yang masuk tipe ini masih ada. Kedua, false advertising, klaim terhadap manfaat produk atau jasa yang hanya dapat dipenuhi berdasarkan ”syarat dan ketentuan berlaku” (under certain conditions) yang tidak di jelaskan secara gamblang di iklan. Misalnya, iklan salah satu provider telekomunikasi terkenal, mengklaim dirinya paling murah dengan menonjolkan sebuah pertanyaan “ada yang lebih murah dari Rp. 0 ?” tetapi hal ini tidak pernah dijelaskan secara gamblang bahwa tarif Rp 0 hanya berlaku berdasarkan syarat dan ketentuan. Bahkan dalam iklannya pun tidak dituliskan syarat dan ketentuan berlaku. Comparative advertising seperti ini berpotensi menimbulkan masalah dari pihak konsumen atau pesaing. Contoh kasus yang pernah terjadi antara pabrikan besar BMW dengan Volvo. Dalam sebuah pesan komersialnya Volvo 850 Turbo Sportwagon mengklaim bahwa Volvo 850 Turbo Sportwagon mempunyai akselerasi lebih cepat dibandingkan BMW 328i, pesan komersial kemudian direspon oleh BMW dengan mengajukan keberatan kepada pihak berwenang di negara bersangkutan. Akhirnya, kasus tersebut dimenangkan oleh BMW karena Volvo tidak bisa memberikan bukti yang memadai atas klaimnya.
Ketiga, misleading advertising, iklan ini melibatkan antara klaim dan kepercayaan, sebuah iklan menghubungkan dengan kepercayaan konsumen. Misalnya konsumen Indonesia percaya bahwa memiliki kulit putih merupakan bagian dari kecantikan. Kepercayaan konsumen ini dimanfaatkan produsen pemutih kulit merek terkenal dengan menggunakan produk mereka, kulit akan menjadi putih dalam waktu 7 hari. Hal serupa juga diungkapkan pada produk lini lainnya dengan pesan yang agresif, hanya pada beberapa iklan lainnya ditambahkan sebuah tulisan sangat kecil disudut kiri bawah (jika tidak dipelototi tidak akan kelihatan). Iklan sejenis juga mudah kita temui pada produk-produk untuk mengurangi berat badan, memperbesar payudara dan produk lainnya yang menunjang penampilan.
2. Iklan untuk Anak (Advertising to Children), anak usia muda (6-13 tahun) mungkin belum memahami bahwa sebuah motif iklan komersial adalah untuk mempengaruhi dan merangsang dan mungkin juga mereka tidak bisa membedakan antara program televisi dan iklan komersial. Sebagai hasilnya, mereka cenderung untuk meyakini bahwa pesan iklan komersial adalah sebuah kebenaran.
Ada argumentasi yang mengatakan bahwa iklan komersial yang ditujukan kepada anak usia muda cenderung akan membuat mereka menjadi lebih informed consumers pada usia yang lebih dini. Mereka mulai mempelajari apa yang dikatakan dalam pesan iklan komersial dan untuk mengambil tindakan berikutnya sebagai bagian proses informasi pemasaran. Mereka akan menjadi konsumen ”yang rentan” dikemudian hari. Ada beberapa kajian yang dilakukan di Amerika Serikat mendukung bahwa seringnya iklan komersial untuk anak bukan menjadi rekomendasi. Dalam kajian pendukung diketahui bahwa anak berusia 3-5 tahun mengalami kesulitan membedakan program televisi dan iklan komersial. Kajian tentang sikap perilaku anak dalam merespon iklan menemukan bahwa anak usia sebelum remaja cenderung untuk merespon dengan cepat sebuah iklan komersial dalam keputusan beli. Mereka tidak mempertimbangkan pengalaman mereka dalam menggunakan sebuah produk di masa lalu. Temuan ini didukung oleh kajian lain yang menemukan bahwa anak usia sebelum remaja cenderung tidak memperhatikan informasi yang lengkap tentang produk dan merek ketika menonton iklan komersial. Seluruh kajian ini mendukung dugaan bahwa anak-anak akan sangat terpengaruh dengan iklan komersial karena mereka belum mengembangkan kemampuan untuk membedakan dan memproses informasi.
Di Indonesia, masih ada iklan komersial yang kurang memperhatikan hal tersebut. Bahkan, ada iklan yang ditujukan untuk anak menggunakan selebriti sebagai endorsement, misalnya salah satu produk susu terkenal, jelly drink, obat masuk angin untuk anak, belum lagi yang menggunakan animasi dalam iklan, produk susu yang mencantumkan harga ”hanya” Rp. 1000,-, produk jus yang menampilakan setting perang, produk susu yang masih menampilkan klaim superioritas. Selain itu masalah durasi penayangan juga belum diperhatikan. Sebaiknya iklan yang ditujukan untuk anak kecil mulai dibatasi, misalnya penayangan hanya boleh dilakukan dengan total durasi 10 menit tiap jamnya pada akhir pekan dan 12 menit tiap jamnya pada hari biasa
Klaim Iklan terhadap Kesehatan (Advertising Health Claims), berubahnya gaya hidup telah mempengaruhi pola pikir konsumen untuk lebih memperhatikan kesehatan dan nutrisi. Saat ini, konsumen lebih sadar terdahap informasi nutrisi pada iklan maupun kemasan. Pada sebuah survei terkini, lebih dari separuh konsumen yang diinterview mengatakan bahwa klaim kesehatan adalah faktor yang penting untuk menentukan keputusan beli dan 44 % mengatakan bahwa mereka membaca secara cermat informasi nutrisi dan kesehatan pada kemasan. Saat ini, masih banyak klaim iklan terhadap kesehatan di Indonesia.
Produk minyak goreng selalu mengatakan non-kolesterol, yang sebetulnya bukan berarti non-kolesterol tidak bebas lemak. Ada juga sebuah produk permen untuk anak menghubungkan sebuah permen dengan segelas susu. Iklan seperti ini bisa dianggap misleading. Hal ini juga terjadi di produk-produk yang mengklaim memiliki kandungan serat tinggi, natural (kandungan alami), fat free dan lain-lain. Seharusnya, iklan produk kesehatan sebelum ditayangkan harus bisa membuktikan secara ilmiah klaim mereka terhadap produk (advertising substantiation) sehingga tidak terjadi misleading. Kasus seperti sebuah merek minuman isotonik yang didakwa mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan cukup menarik dikaji. Menarik karena kemungkinan lembaga berwenang tidak pernah melakukan pemantauan terhadap kegiatan iklan selama ini. Buktinya, iklan minuman isotonik tersebut bisa tayang. Walaupun pada akhirnya sang produsen bisa membuktikan bahwa penggunaan bahan pengawet tersebut sesuai standar lembaga kesehatan dunia. Kemudian sang produsen melakukan corrective advertising pada iklan merek tersebut.
Saat ini, banyak pengiklan telah melakukan koreksi terhadap klaim mereka seperti dengan bahasa ”diperkaya vitamin”, ”less cholesterol”, ”more calsium”, ”lower fat”, ”less salt”, ”fewer calories”. Namun, peran lembaga berwenang di Indonesia menjadi kunci dalam melindungi hak-hak konsumen agar setiap klaim kesehatan pada iklan telah dibuktikan secara ilmiah oleh produsen. Memang hal ini akan menambah mahalnya biaya iklan. Sehingga sering terjadi para pengiklan menggunakan puffery claim. Puffery (klaim atau pernyataan yang bersifat subyektif) bisa dikatakan legal karena bagian dari presentasi penjualan atau iklan yang memberikan sebuah pujian dengan pendapat subyektif, superlatif atau pendapat yang berlebihan (exaggeration), dan umum, memberikan pernyataan tanpa fakta tertentu. Penggunaan puffery sudah sangat umum. Contohnya, BMW menggunakan tagline ”The Ultimate Driving Machine”, Rokok Kretek Dji Sam Soe menggunakan ”kenikmatan Sempurna”, Soft Care dengan ”Super Maxi”, BNI Taplus dengan ”Hidup selalu bisa lebih mudah” atau dengan kata ”the best, ”finest”, ”greatest” dan lain-lain.
Pembatasan iklan melalui regulasi memang sudah sangat diperlukan. Komitmen terhadap regulasi merupakan bagian dari perlindungan konsumen yang menuntut para produsen untuk lebih menghormati hak-hak konsumen dan menjunjung etika bisnis. Perlu diingat bahwa pembatasan dalam iklan bukan mematikan kreativitas justru dengan pembatasan, kreativitas bisa lebih berkembang.
Sumber : Klik disini