Pakar hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Yesmil Anwar mengatakan, konsumen selama ini, selalu berada dalam posisi yang tidak berdaya. Mereka minim informasi dan tidak punya posisi tawar yang kuat.
Akibatnya, konsumen terseret arus yang dicipatakan oleh produsen. Apalagi penegakkan hukum perlindungan konsumen yang belum berjalan sepenuhnya. "Makanya, untuk melindungi diri sendiri, konsumen juga harus cerdas," ujarnya.
Kecerdasan konsumen bisa berbentuk ketelitian sebelum membeli dan tidak tergiur iklan. Kecerdasan konsumen hanya bisa tecapai jika mendapatkan informasi yang cukup. Pada kenyataannya, seringkali konsumen tidak mendapatkan informasi yang lengkap.
UU Perlindungan Konsumen (UU PK) yang diberlakukan pemerintah perlu disosialisasikan secara luas. Dengan demikian, konsumen memperoleh pengetahuan yang cukup mengenai hak dan kewajibannya.
Keseriusan pemerintah menegakkan perlindungan konsumen, memang masih perlu dipertanyakan. Sejauh ini, saluran pengaduan konsumen masih terbatas. "Ke mana masyarakat kalau mau mengadu? Kalau cuma mengadu lewat surat pembaca, tindak lanjutnya bagaimana? paling ribut sebentar tapi terus hilang begitu saja," tutur Yesmil.
Mendorong berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di daerah-daerah menjadi salah satu alternatifnya.
Menurutnya, penegakkan hukum terdiri atas lima unsur. Pertama, mengenai undang-undang itu sendiri. Apakah UU PK, sudah sesuai dengan kondisi saat ini. "Tentunya, perlindungan konsumen harus sejalan dengan peraturan lain. Misalnya KUHP karena di sana juga diatur soal penipuan, HAM, karena ini menyangkut hak masyarakat, serta undang-undang lainnya," tuturnya.
Kedua, terkait dengan aparat penegak hukumnya. Mereka harus mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang cukup mengenai perlindungan konsumen. Tujuannya, agar mereka dapat melakukan tindakan pencegahan, serta tindakan jika terjadi pelanggaran.
Aparat penegak hukum juga tidak terbatas pada polisi, jaksa maupun hakim. Tetapi juga Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), serta Badan Metrologi yang berwenang dalam pengukuran. Lembaga-lembaga tersebut, turut bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen.
Ketiga, penegakan hukum membutuhkan sarana dan prasarana yang cukup. Hal itu, berguna untuk deteksi awal terjadinya pelanggaran hak konsumen.
Keterbatasan ini, membuat konsumen tidak bisa memeriksa detail sebelum membeli. Kejadian yang sering dijumpai adalah pengurangan takaran dan pemalsuan barang. Masyarakat tidak bisa mendeteksi, apakah barang tersebut asli atau palsu.
"Harus ada laboratorium, uji coba dulu. Ini kelemahannya. Jaksa dan polisi juga kesulitan, pada waktu mau dibawa ke pengadilan, proses verbalnya sulit dilakukan karena alat buktinya kurang," tuturnya.
Keempat, masyarakat itu sendiri. Selama ini, masyarakat sering kali bersikap tidak peduli. Padahal, penegakkan hukum perlu peran aktif masyarakat.Masyarakat harus punya keinginan untuk melindungi diri sendiri.
Terakhir, budaya hukum. Budaya hukum yang rendah, tidak akan mendorong penegakkan hukum. "Masyarakat tidak boleh membiarkan dirinya membeli barang yang asal murah, tapi barangnya palsu. Penegak hukum juga harus berada di jalur hukum yang benar," ujar Yesmil.
Jika penegak hukum tidak menjalankan tugasnya dengan benar, masyarakat akan kembali pesimis dan enggan berpartisipasi.
**
Penegakan hukum yang tertatih-tatih itu, membuat berbagai kasus pelanggaran konsumen tidak jelas ujungnya. Bahkan, seringkali fungsi kontrol tidak berjalan. Sudah terlanjur memakan korban, baru ada tindakan. Sudah berapa banyak produk yang ditarik dari pasaran yang ternyata tidak memenuhi persyaratan.
Beberapa waktu silam, sebuah obat pembasmi nyamuk dinyatakan mengandung obat beracun. Sehingga harus ditarik peredaran. Pemberitaan begitu gencar, rupanya hanya pada permulaan saja. Selanjutnya, menghilang begitu saja. Lalu, beberapa saat kemudian, produk tersebut muncul kembali. Masih dengan merk yang sama. Hanya kali ini, dalam iklannya sudah disertai dengan slogan tidak beracun. "Berartin undang-undangnya impoten," ujar Yesmil.
Meski masih jauh dari harapan, penegakkan hukum harus terus diupayakan. Sanksi sudah ditetapkan, tinggal keberanian untuk menindak.
"Menurut hemat saya, karena masih dalam proses yang masih harus ditingkatkan kesadarannya jangan pakai yang total enforcement, partial enforcement saja dulu," tutur Yesmil. Maksudnya, setiap pelanggar UU ini dikenakan sanksi di bawah yang sudah ditetapkan.
Sementara itu, kata Betty D.S., dari jurusan teknologi pangan Unpad, kelemahan UU PK, terletak pada masalah sosialisasi yang masih sangat minim. "Saya melihat hanya kalangan tertentu saja yang tahu dan mengerti betul isi UU PK. Jika melihat di kalangan produsen kecil, pedagang dan bahkan konsumen umum, masih banyak yang tidak paham bagaimana dan apa sebenarnya isi UU PK," ujarnya.
Menurut Betty penerapan UU, terlebih sanksi yang tercantum di dalamnya, tidak akan bisa serta merta diterapkan dengan baik, seandainya sosialisasi tidak ditingkatkan.
"Cara yang sederhana untuk memperbaiki semua itu, adalah dengan meningkatakan sosialisasi UU tersebut. Saat sosialisasi, harus disertai dengan penyuluhan, tentang bagaimana tata cara pengolahan pangan yang baik, agar aman dikonsumsi untuk masyarakat. Beri juga peringatan, bahwa bila mereka tidak melakukan produksi sesuai ketentuan, mereka akan dikenai sanksi sesuai peraturan yang berlaku," kata Betty.
Setelah semua itu dilakukan, ujar Betty, pengawasan juga harus dilakukan secara berkesinambungan. "Jangan hanya pas booming ditemukan kasus dan sudah ada korban, baru ada pemeriksaan besar-besaran. Setelah mereda, tidak terdengar lagi adanya pengawasan," katanya.
Seharusnya pengawasan dilakukan supaya kasus tidak terjadi dan dilakukan rutin. Selain itu, harus disertai pula dengan sanksi yang yang bisa menimbulkan efek jera, agar produsen yang lalai, tidak mengulanginya perbuatannya kembali," ujar Betty. (Catur Ratna Wulandari/Handri Handriansyah/"PR")***
Sumber : Klik di sini