Bukan rahasia jika perusahaan multinasional di Indonesia terlihat lebih besar, gagah, dan seolah tidak terjangkau. Itulah kesan yang sering muncul, menyusul lemahnya posisi tawar masyarakat dan pemerintah ketika berhadapan dengan perusahaan multinasional tersebut.
Oleh karena itu pula, penerapan good governance (tata kelola) dalam etika bisnis selalu menghadapi tantangan. Hal itu juga diungkapkan Ketua Dewan Penasihat IMA Chapter Jabar yang sekaligus Sekda Jabar, Lex Laksamana.
Menurut dia, good governance penting diterapkan, karena dengan tata kelola pemerintahan yang baik maka praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam bisnis dapat diminimalkan.
Namun, penerapan good governance itu memiliki banyak tantangan. "Saat ini, masih ada saja keengganan pemerintah untuk membuka ruang partisipasi publik dan rendahnya daya beli masyarakat yang membuat penerapan good governance ini sulit dijalankan. Terlebih lagi, kekurangtahuan aktor dalam penerapan etikanya,"ujarnya.
Direktur Pengawasan Internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chesna Fizetty Anwar menambahkan, apabila penegakan regulasi dalam bisnis dapat berjalan dengan baik dan konsisten, aktivitas bisnis yang dijalankan pelaku usaha tentunya dapat berjalan baik serta etika usaha akan tumbuh dan berkembang. "Inilah yang diterapkan dalam paradigma pelaku usaha sekarang," katanya seraya mengakui banyaknya skandal bisnis yang terjadi karena kurangnya penerapan good governance yang baik. Karena, good coorporatc governance ini menjadi salah satu sustainable competitive advantage," katanya.
Sebaliknya, banyak perusahaan-perusahaan besar yang bangkrut atau sekadar 'hidup segan mati pun tak mau karena penerapan good corporate governance dan etika bisnisnya yang tidak konsisten. Ini menunjukkan lemahnya komitmen dan kepemimpinan dan tidak dipakainya instrumen di dalam penerapan etika bisnis.
Sementara itu, Dewan Penasihat IMA Chapter Jabar, yang juga Sekda Kota Bandung, Edi Siswadi menuturkan, karakteristik good governance secara legitimasi dapat dilihat dari sisitem pemerintahannya, bagaimana jalannya pemerintahan. Lalu secara akuntabilitas dilihat dari eksistensi mekanisme keyakinan politik pemerintah terhadap aksi perbuatannya dalam menggunakan sumber publik dan performa perilakunya. Dengan kompetensi, pemerintah dalam membuat kebijakan harus berpatokan kepada pelayanan publik yang efisien dan kapabilitas manajemen publik yang tinggi.
"Selama ini problematika penerapan good governance di Kota Bandung sendiri adalah kurangnya pelayanan publik, kapabilitas kebijakan yang rendah, manajemen keuangan yang lemah, peraturan dan prosedur pelayanan yang sangat birokratis serta inefisiensi alokasi sumber sumber publik. Ini yang menghambat pelaksanaan good governance dan akibatnya bisa fatal, karena membuat pengentasan kemiskinan justru tidak berjalan, karena porgram dan projek yang seharusnya mengentaskan kemiskinan justru menjadi sarang KKN," ungkapnya.
Penyebab terjadinya tata kelola pemerintahan yang buruk itu dikarenakan sekarang sistem pemerintahan yang berjalan menganut sentralisasi yang buruk. Perlu adanya pergeseran sistem pemerintahan ke desentralisasi partisipatif yang memunculkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sehingga mampu menimbulkan pemerintahan yang baik, demokratis dan partisipasif, hingga nantinya ada pemerataan.
Akibat birokrasi pemerintahan yang terlalu terpatok pada nilai patrondient administrasi di negara berkembang seperti Indonesia sangat lambat dan semakin birokratik. Ini membuat semangat pegawai dan kinerja menjadi rendah.
Berdasarkan studi tata kelola pemerintahan yang dilakukan Gupta, Davoodi dan Alonso Terne, good governance yang buruk dan naiknya angka KKN sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan turunnya peringkat pendapatan dari 20% penduduk termiskin sebesar 7,8% per tahun. Dan di negara yang tingkat KKN-nya tinggi biasanya tingkat kesehatannya dan pendidikannya sangat rendah.
"Jika partisipasinya sudah melembaga, pemerintah lokal yang menganut asas tata kelola pemerintahan yang baik dapat menghasilkan pelayanan yang baik," tuturnya.
Jika melihat kondisi empiris tata kelola pemerintahan yang dijalankan sekarang, Edi mengatakan, otonomi daerah telah meningkatkan ketidakpastian usaha dan membengkaknya biaya usaha di tingkat lokal, karena di daerah yang memiliki tata kelola pemerintahan yang lebih baik, frekuensi pembayaran imbalannya berkurang danini akan mengurangi KKN. "Kalau berbicara good governance, kita lihat dari perizinan saja, lamanya perizinan yang terjadi dikarenakan saat inikhususnya Kota Bandung masih banyak yang belum berjalan satu atap. Seharusnya dengan satu atap kita bisa mengefisiensikan kinerja pelayanan," katanya.
Indeks persepsi korupsi 2006 menunjukkan Indonesia berada di urutan 130 dari 163 negara yang masuk ke dalam survei index persepsi ini, dengan CPI Score 2,4. Skor ini hanya naik 0,2 poin dari sebelumnya pada 2005. Jika melihat hasil dari survei tersebut, ini masih mencerminkan persepsi masyarakat yang mayoritas pebisnis suatu negara atau orang asing yang melakukan bisnis di negara tersebut terhadap tingkat korupsi suatu bangsa. Indeks ini bukanlah mencerminkan tingkat korupsi yang sebenarnya, namun tingkat korupsi yang terpersepsikan oleh para pelaku bisnis. Artinya tingkat korupsi di Indonesia dipandang para pebisnis luar masih tinggi, ini yang menghalangi masuknya investor.
Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.
Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.
KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan atau pemerintahan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perasahaan/pemer-intahan itu sendiri, yang nantinya akan menciptakan nilai-nilai.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan kepantasan), serta menghargai HAM.
Etika bisnis sendiri merupakan bagian integral dari nilai-nilai good governance yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kesetaraan dan kewajaran.
Nilai-nilai ini yang nantinya akan mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan undang-undang. Dan penerapannya tentu saja tidak bisa berdiri sendiri perlu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.
Dunia usaha berperan menerapkan good governance ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.
Oleh karena itu pula, penerapan good governance (tata kelola) dalam etika bisnis selalu menghadapi tantangan. Hal itu juga diungkapkan Ketua Dewan Penasihat IMA Chapter Jabar yang sekaligus Sekda Jabar, Lex Laksamana.
Menurut dia, good governance penting diterapkan, karena dengan tata kelola pemerintahan yang baik maka praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam bisnis dapat diminimalkan.
Namun, penerapan good governance itu memiliki banyak tantangan. "Saat ini, masih ada saja keengganan pemerintah untuk membuka ruang partisipasi publik dan rendahnya daya beli masyarakat yang membuat penerapan good governance ini sulit dijalankan. Terlebih lagi, kekurangtahuan aktor dalam penerapan etikanya,"ujarnya.
Direktur Pengawasan Internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chesna Fizetty Anwar menambahkan, apabila penegakan regulasi dalam bisnis dapat berjalan dengan baik dan konsisten, aktivitas bisnis yang dijalankan pelaku usaha tentunya dapat berjalan baik serta etika usaha akan tumbuh dan berkembang. "Inilah yang diterapkan dalam paradigma pelaku usaha sekarang," katanya seraya mengakui banyaknya skandal bisnis yang terjadi karena kurangnya penerapan good governance yang baik. Karena, good coorporatc governance ini menjadi salah satu sustainable competitive advantage," katanya.
Sebaliknya, banyak perusahaan-perusahaan besar yang bangkrut atau sekadar 'hidup segan mati pun tak mau karena penerapan good corporate governance dan etika bisnisnya yang tidak konsisten. Ini menunjukkan lemahnya komitmen dan kepemimpinan dan tidak dipakainya instrumen di dalam penerapan etika bisnis.
Sementara itu, Dewan Penasihat IMA Chapter Jabar, yang juga Sekda Kota Bandung, Edi Siswadi menuturkan, karakteristik good governance secara legitimasi dapat dilihat dari sisitem pemerintahannya, bagaimana jalannya pemerintahan. Lalu secara akuntabilitas dilihat dari eksistensi mekanisme keyakinan politik pemerintah terhadap aksi perbuatannya dalam menggunakan sumber publik dan performa perilakunya. Dengan kompetensi, pemerintah dalam membuat kebijakan harus berpatokan kepada pelayanan publik yang efisien dan kapabilitas manajemen publik yang tinggi.
"Selama ini problematika penerapan good governance di Kota Bandung sendiri adalah kurangnya pelayanan publik, kapabilitas kebijakan yang rendah, manajemen keuangan yang lemah, peraturan dan prosedur pelayanan yang sangat birokratis serta inefisiensi alokasi sumber sumber publik. Ini yang menghambat pelaksanaan good governance dan akibatnya bisa fatal, karena membuat pengentasan kemiskinan justru tidak berjalan, karena porgram dan projek yang seharusnya mengentaskan kemiskinan justru menjadi sarang KKN," ungkapnya.
Penyebab terjadinya tata kelola pemerintahan yang buruk itu dikarenakan sekarang sistem pemerintahan yang berjalan menganut sentralisasi yang buruk. Perlu adanya pergeseran sistem pemerintahan ke desentralisasi partisipatif yang memunculkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sehingga mampu menimbulkan pemerintahan yang baik, demokratis dan partisipasif, hingga nantinya ada pemerataan.
Akibat birokrasi pemerintahan yang terlalu terpatok pada nilai patrondient administrasi di negara berkembang seperti Indonesia sangat lambat dan semakin birokratik. Ini membuat semangat pegawai dan kinerja menjadi rendah.
Berdasarkan studi tata kelola pemerintahan yang dilakukan Gupta, Davoodi dan Alonso Terne, good governance yang buruk dan naiknya angka KKN sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan turunnya peringkat pendapatan dari 20% penduduk termiskin sebesar 7,8% per tahun. Dan di negara yang tingkat KKN-nya tinggi biasanya tingkat kesehatannya dan pendidikannya sangat rendah.
"Jika partisipasinya sudah melembaga, pemerintah lokal yang menganut asas tata kelola pemerintahan yang baik dapat menghasilkan pelayanan yang baik," tuturnya.
Jika melihat kondisi empiris tata kelola pemerintahan yang dijalankan sekarang, Edi mengatakan, otonomi daerah telah meningkatkan ketidakpastian usaha dan membengkaknya biaya usaha di tingkat lokal, karena di daerah yang memiliki tata kelola pemerintahan yang lebih baik, frekuensi pembayaran imbalannya berkurang danini akan mengurangi KKN. "Kalau berbicara good governance, kita lihat dari perizinan saja, lamanya perizinan yang terjadi dikarenakan saat inikhususnya Kota Bandung masih banyak yang belum berjalan satu atap. Seharusnya dengan satu atap kita bisa mengefisiensikan kinerja pelayanan," katanya.
Indeks persepsi korupsi 2006 menunjukkan Indonesia berada di urutan 130 dari 163 negara yang masuk ke dalam survei index persepsi ini, dengan CPI Score 2,4. Skor ini hanya naik 0,2 poin dari sebelumnya pada 2005. Jika melihat hasil dari survei tersebut, ini masih mencerminkan persepsi masyarakat yang mayoritas pebisnis suatu negara atau orang asing yang melakukan bisnis di negara tersebut terhadap tingkat korupsi suatu bangsa. Indeks ini bukanlah mencerminkan tingkat korupsi yang sebenarnya, namun tingkat korupsi yang terpersepsikan oleh para pelaku bisnis. Artinya tingkat korupsi di Indonesia dipandang para pebisnis luar masih tinggi, ini yang menghalangi masuknya investor.
Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.
Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.
KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan atau pemerintahan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perasahaan/pemer-intahan itu sendiri, yang nantinya akan menciptakan nilai-nilai.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan kepantasan), serta menghargai HAM.
Etika bisnis sendiri merupakan bagian integral dari nilai-nilai good governance yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kesetaraan dan kewajaran.
Nilai-nilai ini yang nantinya akan mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan undang-undang. Dan penerapannya tentu saja tidak bisa berdiri sendiri perlu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.
Dunia usaha berperan menerapkan good governance ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.
Sumber : Klik di sini